Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Islam dan Propaganda Terorisme

22 Agustus 2020   08:03 Diperbarui: 22 Agustus 2020   07:53 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pasca penggrebekan sarang teroris dan keberhasilan membinasakan orang paling dicari terkait terorisme yaitu Nurdin M Top, barangkali bisa membuat kita sedikit tenang. 

Dalam beberapa waktu ke depan kita bisa merasa aman dari ancaman teror bom, meski kita tidak begitu yakin bahwa akar-akar terorisme di Indonesia benar-benar telah tercerabut.

M Tafsir, seorang tokoh Muhammadiyah Semarang dalam suatu kesempatan acara di Masjid Baiturrahman (25/8/09) menyatakan bahwa bom-bom akan selalu ada, karena Al Quran memiliki potensi ayat-ayat yang bisa ditafsirkan keliru oleh kelompok-kelompok tertentu. Mereka akan selalu muncul selama ada potensi tersebut dan pemicu, yaitu ketidakadilan.

Diakui atau tidak, kelompok yang disebut teroris di Indonesia adalah kelompok tertentu dari umat Islam. Mereka memiliki pemahaman tersendiri tentang jihad. Bahwa meledakkan bom bisa disebut jihad selama digunakan untuk menyerang kebatilan dan untuk menegakkan kebenaran.

Diskusi tentang idiologi kelompok tersebut telah berlangsung terus menerus. Akar persoalan mencoba dicari, mengapa mereka sampai memutuskan untuk melakukan pengeboman. 

Banyak buku juga sudah ditulis untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang bahaya idiologi para teroris tersebut. Namun yang terjadi justru terjadi dua kubu yang terbelah, antara mendukung dan menentang.

Lihat saja peristiwa penguburan para pelaku teror, dari rumah kediaman sampai tanah pemakamannya,  mereka diiringi oleh banyak pelayat dengan gema takbir. Kenyataan ini tentu membuat kebingungan dalam masyarakat. 

Dan timbul pertanyaan yang menunjukkan keraguan, apakah benar Islam memberikan legitimasi atau pembenaran  atas  tindakan kekerasan seperti yang telah terjadi?

Jika tidak segera diluruskan, semakin lama keraguan ini akan berujung pada lemahnya keyakinan umat akan agama yang dianutnya. Jika ternayata orang yang berpenampilan sangat khusuk, yang dalam pandangan kaum awam sebagai satu tanda atau menunjukkan tingkat keilmuan agama yang tinggi, ternyata melakukan tindak kekerasan.

 Islam Agama Kasih Sayang

Pernyataan M Tafsir di muka, seolah hendak memperingatkan kepada kita untuk selalu waspada kepada munculnya kembali gerakan-gerakan kekerasan atas nama agama tersebut. 

Sehingga patut menjadi catatan bagi orang-orang yang memiliki potensi ilmu agama, agar tiada henti mendakwahkan keselamatan dan rahmat dari Islam. Bahwa Islam pada adalah rahmat bagi seluruh alam, agama yang mengajarkan keadilan dan kasih sayang, adalah prinsip utama.

Dalam berbagai kesempatan Emha Ainun Najib selalu mengajak pada masyarakat untuk meneguhkan kembali makna Muslim dan Mukmin dalam konteks sosial. Karena dari sanalah akar idilogis yang mestinya terlebih dahulu dibangun. 

Muslim itu bermakna bahwa segala ucapan, tindakan dan perlikunya menjamin keselamatan orang lain di sekitarnya. Sedangkan Mukmin, adalah orang yang jika ada dirinya, maka amanlah harta, nyawa, kehormatan, semua orang di sekitarnya.

Dengan meneguhkan makna Muslim dam Mukmin tersebut, maka sejatinya tidak memerlukan banyak dalil untuk melakukan suatu kebaikan. Tidak memerlukan banyak larangan untuk tidak melakukan kejahatan dan teror ketakutan. 

Menjadikan kawan kita khawatir saja, itu sudah bermakna Islam kita kurang, apalagi sampai mencelakakan orang lain, maka jangan lagi berharap menjadi muslim.

Menyelamatkan Iman

Iman adalah harta paling berharga yang dimiliki oleh seorang anak manusia, sehingga jangan sampai menggadaikan iman kita untuk apapun juga. Namun pada masa akhir jaman yang begitu riuh dengan dinamika yang menggoda, sehingga jika tidak terus dipupuk iman kita bisa luntur tanpa terasa.

Bahaya yang mengancam iman bukan saja datang dari kehidupan dunia, namun perdebatan agama dapat saja mengantarkan pada menipisnya iman kita. 

Sebagaimana dalam sabda Nabi bahwa pada akhir masa, umat Islam akan terpecah dalam tujuh puluh tiga golongan, dan hanya satu yang selamat, maka secara tidak langsung akan ada tarik menarik antara kelompok Islam sendiri untuk mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling selamat.

Banyaknya kelompok tersebut, tentu bermacam-macam ajarannya meski secara akidah tetap meng-Esa-kan Allah SWT. Pandangan-pandangan, tafsir yang mereka gunakan untuk memaknai firman Allah dalam Kitab Al Qur'an, menjadikan dasarnya timbul keragaman tersebut. 

Yang menjadi penting adalah bagaimana agar tidak terjerumus untuk masuk dalam kelompok yang salah, apalagi yang melegitimasi segala cara untuk mencapai tujuan.

Beberapa rumusan berikut, semoga bisa membantu kita menemukan kebenaran.

Pertama, carilah imam atau guru yang pandai dan memahami ilmu agama dengan dalam. Karena firman Allah jelas menyatakan, "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (Q.S. Al-Isra' : 36). 

Dalam hal ini, menentukan imam sebagai panutan adalah sangat penting, mengingat pemahaman kita terhadap ilmu agama sendiri sangat terbatas. Jangan memilih Imam hanya karena ukuran kefasihan bahasanya, tetapi pilihlah karena kedalaman ilmunya.

 "Dan janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih." (Q.S. An-Nahl : 116-117)

Kedua, tanamkan keyakinan dalam hati bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keselamatan dan kasih sayang. Adanya dalam praktek orang Islam yang tidak bersikap Islami, jangan lantas menyalahkan atau meragukan kebenaran Islam. 

Karena pada dasarnya Islam seperti memberikan bahan mentah dan masing-masing kita adalah peramu untuk memasaknya dengan resep yang sudah diajarkan. Hasil masakan yang berbeda, jelas bukan pada kesalahan resep atau bahannya, namun pada ukuran takaran dan cara memasak masing-masing kita.

Ketiga, berusahalah untuk selalu memberikan suatu kebaikan dalam kehidupan kita. Karena bukti Islam dan Iman seseorang adalah dari perilaku dan sikap kesehariannya. Dengan adanya bentuk kongkret perbuatan yang merupakan manifestasi Iman, diharapkan Iman kita selalu kuat dan terjaga.

Menampilkan Islam Yang Matang

Teror dan segala bentuk tindak kekerasan selalu meninggalkan luka dan ketakutan pada nurani manusia. Hal itu tentu saja bertentangan dengan dasar Agama Islam yang mengajarkan keselamatan dan rahmat bagi semua makhluk. Sehingga ajaran tertinggi Islam adalah cinta. 

Beribadah kepada Allah jika masih dilandasi dengan rasa beban kewajiban atau karena takut pada ancaman dan tergiur dengan iming-iming pahala, maka belum sampai dia pada tingkat berislam yang penuh. Kita mendasari ibadah kita dengan cinta.

Kiai Budi Harjono dari Meteseh Semarang dalam suatu kesempatan menasehatkan terkait dengan terorisme ini. Beliau mengajak untuk menampilkan Islam pada titik kematangan, yang selalu memberikan buah untuk dinikmati secara universal, tidak perduli siapa yang akan memetiknya, karena yang terpenting adalah kebaikan untuk semuanya. 

Cinta yang diungkapkan dengan tindakan, akan memancarkan nilai ke-Ilahian bagi orang yang menyaksikannya. Disinilah makna bahwa sebaik-baik orang adalah yang paling baik akhlak dan perilakunya kepada manusia yang lain dan alam semesta.

Anjuran Kiai Budi tersebut kiranya sangat tepat. Karena pada dasarnya setiap kebaikan kita adalah sebuah amal jariyah, yaitu amal yang selalu mengalir dan bertingkat. Dalam sebuah hadits dinyatakan:

"Siapa yang memberi contoh dalam Islam dengan contoh yang baik, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang memberi contoh dalam Islam dengan contoh yang jelek, maka atasnya dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun." (Hadits Jarr radhiyallhu 'anhu riwayat Muslim no. 1017 dan An-Nas`i 5/75-76.)

Pada akhirnya, menjaga keimanan itu adalah tugas masing-masing kita yang memiliki. Sehingga sudah sepatutnya kita melakukan usaha untuk tetap menjaganya. Semoga kita selalu dijaga Allah dari tipisnya iman dan dari fitnah-fitnah yang keji. (Syarif)

*artikel ini pernah dipublikasikan di Majalah PesanTrend Edisi 6 Tahun 1, Nopember 2009.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun