Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sense of Ketersinggungan

19 Agustus 2020   05:17 Diperbarui: 19 Agustus 2020   06:35 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tersinggung dan tersindir merupakan hasil atau out put dari olah rasa seseorang. Beruntunglah orang yang masih bisa tersinggung atau tersindir, karena orang yang sudah kebal dari dua sikap itu adalah orang yang ndableg, alias bermuka badak. Sudah tidak perduli apa omongan orang. Namun juga perlu hati-hati, karena bisa saja ketersinggungan atau ketersindiran kita adalah manifestasi dari kesombongan dan keangkuhan kita sebagai manusia. Sikap merasa menjadi orang yang bersih dan patut untuk dimuliakan, sungguh sangat melekat pada diri kita, sehingga saat orang lain menyinggung sedikit saja harga diri kita, serta-merta kita akan marah dan mencak-mencak. Saya tersinggung!

            Ketersinggungan dan ketersindiran para pejabat kita rupanya memiliki karakterisitik yang unik. Mengapa unik, karena ketersinggungan dan ketersindiran itu tidak lagi bergantung pada sesuatu yang menyinggungnya, misalnya saja perkataan tidak becus, tidak profesional, anak taman kana-kanak dan sebagainya. Masalah mereka bukan itu, bukan pada perkara yang menyinggungnya, tetapi pada persoalan siapa yang menyinggungnya atau menyindirnya.

            Saat demonstrasi besar-besaran mahasiswa dan rakyat, menuntut dan menghujat para pejabat karena kurang becus bekerja, dengan berbagai jenis kata-kata kasar dan kotor, dari hewan kaki dua sampai kaki seribu, tapi toh pejabat kita tidak ada yang bereaksi. Santai saja dan easy going. Mereka akan berkata, "ya biarlah, ini kan Negara demokrasi, jadi mereka bebas mengemukakan pendapat." Akhirnya tidak ada langkah apapun yang diambil para pejabat kita. Karena mereka tidak tersindir apalagi tersinggung.

Lain halnya jika yang menyingung atau menyindir adalah orang yang memiliki jabatan juga. Tiba-tiba seperti orang kebakaran jenggot mereka berteriak-teriak pencemaran nama baik, dan fitnah. Buru-buru mereka melakukan konsolidasi internal untuk menangkal semua kemungkinan. Semua langkah-langkah itu diatur sedemikian rupa untuk mencitrakan diri jauh dari sindiran atau tuduhan yang menyinggungnya. Ternyata ini hanya persoalan siapa, bukan apa?

Jika demikian halnya, tingkah dan sikap para pejabat kita, maka ya sudahlah, kita sudahi saja demonstrasi-demonstrasi itu. Percuma. Karena pejabat kita sudah tidak memiliki lagi sense of ketersinggungan atau ketersindiran terhadap rakyatnya. Suara rakyat hanyalah suara kosong yang dibiarkan nyaring bergema untuk kemudian menghilang tak berbekas. Itu semua karena rakyat bukan siapa-siapa, tidak memiliki kekuatan untuk membentuk image jahat pada diri mereka. Berapa kalipun dan seberapa keras pun rakyat meneriakkan "bajingan" kepada para pejabat itu, mereka sama sekali tidak pernah merasa menjadi bajingan. Karena yang mengatakannya adalah rakyat, yang bukan siapa-siapa.

Para pejabat kita hanya segan, takut dan hormat kepada sesama pejabat, bukan kepada rakyat. Mungkin karena rakyat yang terlalu baik, kemudian para pejabat itu tidak perlu atau tidak harus menghormatinya, toh tak dihormati juga tiap Pemilu mereka bersedia untuk mencoblos, memilih mereka kembali menjadi pejabat. Jadi memang benar-benar rakyat itu tidak penting untuk diperhatikan. Ada tidaknya rakyat tidak masalah bagi para pejabat itu.

Yang harus diperhatikan dan di antisipasi dengan baik adalah para pejabat yang lain, musuh-musuh politik mereka, para pejabat yang memiliki kewenangan untuk menentukan baik buruk seseorang, menentukan seorang sontoloyo atau bukan. Jika sampai mereka menentukan itu semua, maka tinggal tunggu hitungan hari saja pejabat itu akan dicopot dan menjadi rakyat yang bukan siapa-siapa. Inilah yang saya katakan sebagai psikologi unik pejabat kita. (Syarif)

*Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Majalah PesanTrend Edisi 3, tahun I, Mei 2009, dengan Judul "Psikologi Pejabat Indonesia"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun