Ratusan Umat Islam "Serbu" Gereja
Selasa (12/05/09) malam, ratusan umat Islam dari berbagai penjuru Semarang menyerbu halaman parkir Gereja Isa Al Masih Pringgading. Tetapi bukan untuk melakukan kerusuhan, melainkan bergabung bersama ratusan umat Nasrani untuk mengikuti acara "Kidung Damai dari Semarang" yang diselenggarakan oleh pihak Gereja.
Acara tersebut adalah sebuah pembuktian bahwa pada dasarnya kita bisa hidup dan bergembira bersama. Tidak perduli apa latar belakang agama dan kepercayaan kita. Pada malam itu, umat Islam dan Nasrani berkumpul untuk menggali nilai-nilai kebersamaan antar umat beragama, yang dirasa semakin memudar.
Pada malam itu, panitia menampilkan kolaborasi musik dari dua agama sekaligus. Hadir malam itu, group musik Kiai Kanjeng Gamelan Orchestra, PS Harvest, VG. Sacrifice of Prise, PS. Gereja Katolik Tanah Mas, Warship Creative Ministry, Vg. Alfa Omega, dan juga Rebana Nurul Taqwa.
Sebagai para pembicara yang di atas panggung, hadir Emha Ainun Najib, Rony C. Kristanto, Pdt. Gunarto, KH. Nuril Arifin, Pdt. Timotius Adidarma, M. Tafsir (Tokoh Muhammadiyah), Rm. Aloys B. Purnomo, dan juga KH. Budi Harjono (Kiai NU) dari Meteseh. Selain itu hadir juga tokoh-tokoh Gereja dan juga para tokoh Islam yang lain.
Assalamu'alaikum Pak Pendeta
Sebelum memulai berbicara, Cak Nun, sapaan akrab Emha Ainun Najib, mengemukakan masalah salam yang masih sering dipersoalkan. Bolehkah umat Islam berucap salam kepada non-muslim?
Cak Nun menjelaskan, salam itu bermakna komitmen kita ketika bertemu dengan orang lain, siapa saja, berupa janji untuk menjamin keselamatan dan keamanannya. Minimal dari kejahatan tangan dan lidah kita, sampai pada faktor-faktor eksternal yang lain. Jadi salam dimaknai sebagai alat pertama untuk menumbuhkan rasa aman orang lain ketika berada di dekat kita.
Sementara rahmat dimaknai sebagai kebaikan-kebaikan yang ada pada diri kita dan orang lain berupa kebersamaan, kedamaian, persatuan, dan sebagainya, yang harus bisa diramu untuk menjadi barokah. Barokah berarti mampu menemukan nilai-nilai kebaikan dan inovasi-inovasi yang bermanfaat dari pertemuan dan kebersamaan itu.Â
Sehingga kepada siapa saja kita mestinya menebarkan salam. Setelah panjang lebar, Cak Nun di atas panggung dengan tegas mengucapkan salam kepada seluruh hadirin. "Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarokaatuh." Hadirinpun kemudian menjawab kompak tanpa keraguan, "wa'alaikum salam warahmatullaahi wabarakaatuh."
Membangun Semangat Toleransi
Acara malam itu dimulai dengan pembacaan ayat suci Al Qur'an dan juga Injil dalam bahasa Arab dengan lagu tilawah yang sangat mirip. Sehingga jika tidak memperhatikan, maka sulit membedakan mana yang Qur'an dan mana yang Injil. Ini adalah wujud kebersamaan dan toleransi yang jelas batas-batasnya, papar pembawa acara.
Dalam semangat pluralisme, kemudian Kiai Kanjeng berkolaborasi dengan Paduan Suara Harvest mendendangkan lagu Malam Kudus dengan dua lirik. Kesempatan pertama, Kiai Kanjeng hanya sebagai pengiring musik sementara Paduan Suara Harvers menyanyikan lagu Malam Kudus.Â
Pada kesempatan kedua, dengan nada yang sama (lagu Malam Kudus), para vokalis Kiai Kanjeng melantunkan syair shalawat Nabi, "Sholatullah salamullah/ 'Ala thoha Rasulillah/ Sholatullah salamullah/ Sholatullah salamullah/ 'Ala yaasin Habibillah/ 'Ala yaasin Habibillah..." Tepuk tangan hadirin membahana seketika saat shalawat itu selesai.
"Tidak ada lagu Islam, tidak ada lagu Kristen. Lagu itu hanya alat, kita harus membedakannya dengan substansi" papar Cak Nun kemudian, seperti hendak menjawab keheranan para hadirin. Bagi Cak Nun, lagu itu seperti motor, yang boleh saja paginya dinaiki oleh Romo ke Gereja, dan siangnya dipakai pak Kiai ke Masjid, sehingga tidak ada motor Islam atau motor Kristen.
Menurut Cak Nun, semangat toleransi dan pluralisme beragama bukan berarti menyamakan dan menganggap sama semua agama. Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan sebagainya biarkan berbeda. Karena dengan berbeda itulah kita tahu siapa diri kita. Cak Nun sering mengibaratkan agama sebagai istri atau suami, yang tidak perlu diperdebatkan oleh para suami atau istri, pasangan siapa yang paling oke. "Jadi tidak perlu ada rapat RT yang membahas pantat istri siapa yang paling besar." Katanya disusul gemuruh tawa para hadirin.
M. Tafsir kemudian menambahkan, dalam hal kebenaran agama, yang muncul adalah kebenaran keyakinan bukan kebenaran empiris. Sehingga sudah pasti akan terjadi perbedaan. Jangankan antara Islam dan Kristen, dalam Muhammadiyah saja paling tidak ada empat golongan. Tidak semua orang Muhammadiyah itu menolak tahlilan, ada yang toleran dan bahkan ada yang bisa memimpin tahlilan ala NU. Hanya saja, dengan perbedaan itu, bukan berarti harus bertengkar.
Sementara itu, Pendeta Gunarto mengungkapkan bahwa toleransi itu berasal dari suara hati yang sejatinya dihembuskan oleh Allah. "Sehingga saat suara hati berdendang, maka dengarkanlah." Kemudian Pendeta Timotius Adidharma menambahi bahwa segala sesuatu jika dikemukakan dengan kejujuran dan ketulusan akan membuahkan kedamaian dan memiliki pengaruh yang besar.
Buah Toleransi
Perbedaan dalam beragama, tidak boleh menutup pintu kerjasama dalam bidang sosial dan kemanusiaan. "Kebersamaan dan kehangatan kita pada malam hari ini, mestinya dapat kita wujudkan dalam tindakan kita sehari-hari." Pesan Gus Nuril pada akhirnya. Menjelang Pukul dua belas malam, acara ditutup dengan doa oleh Gus Nuril dan Pendeta Andreas. Para hadirin pulang dengan tertib diiringi lagu Kolam Susu milik Koes Ploes, yang dibawakan Kiai Kanjeng. (Syarif)
*Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Majalah PesanTrend Edisi 3 tahun I, Mei 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H