Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kembang di Perempatan

13 Agustus 2020   13:39 Diperbarui: 13 Agustus 2020   13:49 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ada apa ya Mas Supri, kok tidak biasanya njenengan datang ke gubug saya ini." Mbah Sapto datang lagi membawa dua cangkir kopi panas, dan setengah toples kripik singkong. "Pas sekali untuk teman ngobrol." Pikirku.

Setelah basa-basi, tanya tentang kabar dan keluarga, aku mulai mengutarakan maksudku. Tidak ada perubahan serius dari wajah Mbah Sapto setelah mendengar maksud kedatanganku.

"Wah, njenengan tidak keliru datang kemari." Masih dengan tersenyum, Mbah Sapto menyulut rokok yang sedari tadi dilintingnya.

"Maksud Simbah?" Justru aku yang bertanya-bertanya.

"Memang saya yang selalu meletakkan kembang-kembang itu." Mbah Sapto menjawab singkat. Giliranku sekarang yang kaget, meski sbelumnya aku sudah mengira begitu.

"Jadi selama ini simbah yang menaruh kembang-kembang itu pagi-pagi sekali? Apakah Simbah tidak takut berbuat dosa syirik seperti itu?" Aku tidak bisa mengendalikan kata-kataku. Sebenarnya aku merasa tidak enak langsung menuduh seperti itu. Tapi sudah terlanjur. Tetapi tidak ada ekspresi kaget sama sekali di wajah Mbah Sapto. Justru dia malah tertawa terkekeh.

"He he he. Mungkin Kiai Sahlan belum cerita banyak padamu." Dihisapnya lagi rokok linting yang tinggal separo.

"Maaf ya Mas Supri. Bukannya saya mau menggurui. Tapi saya perlu bertanya dulu, apa yang Mas Supri maksud dengan syirik itu?" Aku sudah menduga akan mendapat pertanyaan itu. Sejak sore tadi, aku sudah bersiap untuk berdebat hebat malam ini.

"Saya juga minta maaf Mbah. Karena mungkin saya yang muda ini, lancang. Tetapi saya menilai ini harus saya katakan." Kulihat Mbah Sapto manggut-manggut tanpa bersuara. Akupun melanjutkan. "Syirik itu adalah dosa yang paling besar. Karena telah menyekutukan Allah SWT dengan yang lain. Dalam bahasa manusia mungkin yang paling pas adalah Allah itu sangat cemburu dan marah jika diriNya diduakan Mbah." Kulirik Mbah Sapto yang terus manggut-manggut saja sambil sesekali menghisap sisa-sisa rokok lintingannya.

Aku terus saja bicara, seolah aku tengah di atas mimbar jum'at yang tidak lagi khawatir ada yang menginterupsi. Semua dalil tentang larangan syirik aku kutip lengkap dengan terjemahnya. Semua bentuk-bentuk kesyirikan aku ungkap lengkan dengan konsekuensinya nanti di Akherat.  

"Jadi Mbah, berharap kepada makhluk selain kepada Allah dengan cara apapun, termasuk menaruh sesaji dan lain-lain, itu adalah syirik." Akhirnya aku putuskan mengakhiri ceramahku. Sementara Mbah Sapto telah menyalakan rokok lintingannya yang ke dua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun