Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cita-cita Ayah

12 Agustus 2020   05:32 Diperbarui: 12 Agustus 2020   05:41 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu, burung berkicau sangat ramai. Mentari pagi baru saja menampakkan senyum ramahnya menyambut hari yang selalu baru. Sebuah rumah di tengah perkampungan, yang memiliki halaman cukup luas dan dihiasi dengan beberapa pot bunga, meskipun tak banyak tapi cukup membuat pemandangan teduh. Tiga buah kursi dan satu meja kecil tertata rapih di beranda. Pak Rahman, begitu orang-orang sering memanggilnya, sedang duduk santai membaca koran ditemani satu piring singkong goreng dan secangkir kopi.

Hari itu dia tidak pergi ke sekolah. Jadwal mengajarnya hanya empat hari selama seminggu. Dua hari libur, dia gunakan untuk mengurus pekerjaan rumah, dan kadang mengurus beberapa petak tanah warisan orang tuanya. Kadang juga pergi ke pasar untuk mengecek kios persemaian bibit tanaman ladang dan perkebunan, akasia, jati, bibit buah-buahan, seperti jeruk, mangga, kedondong dan lain-lain. Tapi sekarang pasar sepi. Orang-orang lebih suka beli buah atau kayu jadi di pasar atau toko, dari pada harus susah-susah menanam pohonnya. Sebagai guru, dia perlu sering-sering baca koran, meski tidak tiap hari, untuk menambah wawasannya. Agar tidak dianggap ketinggalan jaman di hadapan para siswanya di SMU, yang semakin hari semakin maju pikirannya.

Saat sedang asik membaca koran, tiba-tiba motor tukang pos berhenti tepat didepan halaman rumahnya. Dia meletakkan sejenak korannya, untuk menerima sebuah surat.

"Dari Romli, semoga kabar baik" Pak Rahman bergumam pada dirinya sendiri ketika membaca alamat pengirim dalam amplop. Dan ia pun langsung membuka dan membacanya.

***

Lampung, 15 Februari 2007

Kepada Ayahanda yang Terhormat

Di Pekalongan

Ayah, pertama kali Romli kabarkan kalau Romli dalam keadan sehat. Begitu juga Romli harap, Ayah dan Ibu di rumah dalam lindungan Allah selalu. Amin.

Ayah, sengaja Romli mengirim surat ini sedini mungkin. Sesampainya Romli di tempat tujuan. Karena Romli tidak ingin perasaan ini menjadi ganjalan dihati Romli maupun hati siapapun. Romli ingin, hati Romli menjadi lega.

Romli saat ini sudah ada di Lampung. Tepatnya di daerah Padang Ratu, Tanjung Harapan. Disini Romli akan mencoba memulai hidup, dengan bekal yang sudah ayah berikan. Kemandirian.

Ayah, sebelumnya anakmu ini meminta maaf. Karena sudah salah sangka dan telah membenci ayah sebelum keberangkatanku. Masih kuingat sebelum berangkat, ayah bilang,

"Dimanapun kamu mencari rizqi, Tuhan telah menakarnya. Yang diperlukan hanya berusaha. Jadi tidak perlu khawatir."

Saat itu, Romli hanya mengangguk dan mengiyakan. Padahal hatiku sungguh tidak demikian. Ingin Romli pertanyakan, bahwa usaha itu tidak cukup dengan tekad. Kemandirian macam apa yang ayah maksudkan dengan mulai hidup tanpa bekal? Apalagi ketika ayah tidak mengijinkan Romli untuk bekerja di Jepang yang cukup menjanjikan. Hanya karena tempatnya jauh dan perlu biaya yang cukup banyak pula untuk memulainya. Padahal, Romli tahu, sebenarnya ayah memiliki uang sejumlah itu.

Sejujurnya, saat Romli pergi ke Lampung, Romli belum memiliki satu gambaran masa depan sama sekali. Hanya saja, Romli merasa tidak bisa lagi tinggal lebih lama di rumah. Rumah tidak lagi menjadi surga bagiku saat itu. Maka kuputuskan pergi, kemanapun, asal tidak lagi dekat denganmu, ayah. Karena Romli merasa, ayah tak pernah mengerti, apa sebenarnya kehendak anaknya.

Sekali lagi maaf ayah. Mungkin ini kekeliruan anakmu. Yang tidak pernah merasakan cinta kepadamu. Romli hanya merasa segan dan menghormati ayah. Sebagai orang tua yang telah menjadi jalanku untuk melihat dunia ini. Romli merasa tidak pernah diajari cinta oleh ayah. Romli tidak pernah diajari mencintai hidup ini. Romli hanya diajari untuk tahu, bahwa hidup itu susah. Dan harus berusaha keras. Itu saja.

Keberangkatan Romli ke Lampung, Romli harap menjadi satu jalan keluar. Dan kemarin sebelum sampai ke Lampung, Romli mampir dulu berkunjung ke rumah Mas Alip di Jakarta. Romli banyak cerita dan dia pun juga. Dari situlah Romli baru mengerti, apa sebenarnya maksud dari ayah selama ini. Mengapa membiarkan kami mulai hidup mandiri dengan tanpa apa-apa. Tapi mengapa ayah tak pernah bilang terus terang kepada Romli? Apakah ayah khawatir Romli akan menentang? Tidak ayah, Romli tidak akan menentang keinginan mulia ayah.

Pada awalnya, ketika Mas Alip bercerita, Romli memang merasa jengkel dan marah. Mengapa kami menjadi korban? Korban. Ya, korban adalah yang paling tepat Romli sebutkan waktu itu. Mengapa keinginan ayah itu menjadikan kami terpaksa bertahan hidup dengan amat susah. Mungkin ayah tak pernah membayangkan kesusahan Mas Alip dan Romli berada di rantau. Yang  hanya bisa bertahan hidup dengan normal sampai pertengahan bulan saja. Yang selanjutnya kami harus hidup dengan gali lubang dan tutup lubang.

Ayah pasti tidak pernah menyadari itu. Karena ketika kami pulang pun, kami tidak pernah ceritakan semuanya. Kami ingin ayah bahagia dan merasa berhasil mendidik anak-anaknya. Kami ingin ayah sendiri yang peka dengan kondisi kami, ketika berkunjung ke tempat rantau kami. Kami ingin ayah mengerti, bagaimana susahnya hidup jauh dari uluran tangan orang-orang yang pemurah. Tapi ayah tak pernah menyadari itu. Atau mungkin tak mau menyadari itu. Seolah-olah, kepergian kami dari rumah merantau adalah seperti keputusan anak ayam yang melepaskan diri dari kandang. Yang pemiliknya tak lagi ada urusan. Karena dengan modal cakar dan paruhnya, pasti bisa mencari makan.

Pada awalnya Romli tidak habis pikir. Dan ingin kembali pulang ke rumah setelah Mas Alip bercerita tentang keinginan mulia ayah. Romli ingin meluapkan semuanya langsung. Agar ayah mengurungkan niat ayah, dan untuk lebih memperhatikan dulu kondisi anak-anak ayah yang susah dirantau ini.

Tetapi niat itu Romli urungkan setelah Mas Alip berkata, "jangan kau pulang dan marah kepada ayah. Ayah punya hak untuk memiliki keinginan itu."

Sejenak Romli berpikir. Romli tidak terima. Bagaimana mungkin ayah mementingkan hak pribadinya dengan mengorbankan kewajiban kepada anak-anaknya? Tapi karena penjelasan Mas Alip, bahwa kami sebagai anak-anak ayah, selama ini belum bisa menberikan apa-apa. Maka Romli sadar. Perjuangan kami adalah wujud bakti kepada orang tua. Karena kami tidak mungkin bisa membantu apa-apa. Kapan lagi kita bisa menjadi anak yang berbakti?

Ayahku yang terhormat.

Mas Alip telah menyadarkanku. Bakti kepada orang tua adalah kewajiban seorang anak. Selama ini, Romli tahu belum bisa memberikan apa-apa kecuali rasa hormat Romli kepada ayah. Kecuali sikap patuh Romli kepada ayah. Romli sadar, inilah saatnya kami, Romli dan mas Alip berkorban, sebagai wujud bakti kami kepada mu ayah. Kami tahu, tidak mungkin bisa membantu mewujudkan keinginan ayah dalam ujud materi. Karena kami-pun masih berusaha bertahan hidup dengannya. Hanya langkah kami kemudian memutuskan, untuk tidak akan lagi meminta bantuan apapun kepada ayah, sampai cita-cita ayah tercapai.

Biarlah kami akan berusaha bertahan hidup dengan kemandirian yang telah ayah ajarkan kepada kami. Kami akan berusaha tetap hidup sampai keinginan ayah terwujud. Kami sekali lagi mohon maaf, karena tidak memiliki apa-apa untuk membantu mewujudkan keinginan ayah. Hanya doa sajalah yang dapat kami panjatkan tulus kepada Allah SWT, semoga tahun depan cita-cita ayah dapat terwujud. Dan semoga dapat menjadi haji yang mabrur. Amin.

Wassalamu'alaikum Wr.Wb.

Tertanda, Putra ayah yang selalu menghormatimu.

Romli

***

Selesai membaca surat itu. Pak Rahman termenung beberapa saat. Sekilas terbayang wajah kedua anaknya itu. Alip, anak pertamanya yang hanya pulang setahun sekali saat lebaran idul fitri. Dia memang tidak pernah mengeluh. Bahkan dulu waktu masih sekolah, meskipun sepatunya sudah rusak, Alip tidak pernah meminta ganti. Akhirnya ibunyalah yang membelikan. Pernah suatu kali dia pulang, dan mengatakan perlu modal untuk membuka usaha sampingan di rumah kontrakannya. Gaji dari pabrik sebagai karyawan, katanya tidak cukup untuk hidup berkeluarga. Namun saat itu permintaanya tidak ia turuti.

"Kamu kan belum berkeluarga. Lagi pula perhitungannya harus masak-masak betul. Jangan sampai modal besar hanya hilang karena usahamu merugi. Saat inipun, ayah sedang merencanakan naik haji bersama ibumu tahun depan. Rasanya, kalau belum haji, perasaan hati ini belum tenang. Nantilah setelah kewajiban terakhir ini sudah terpenuhi, kamu mau bisnis apapun ayah dukung." Pak Rahman ingat betul saat itu. Alip waktu itu tidak membantah. Pak Rahman tidak pernah bertanya kapan Alip merencanakan menikah, dan tampaknya Alip pun enggan untuk mengatakannya. Ia hanya diam dan sorenya langsung berpamitan kembali ke Jakarta.

Selama ini, Pak Rahman memang belum pernah berkunjung ke rumah kontrakan Alip yang baru setelah satu setangah tahun pindah. Yang dia tahu, kontrakannya sekarang lebih bagus dari yang dulu. Itupun dari cerita Alip waktu pulang idul fitri kemarin.

Sedangkan Romli, sudah satu tahun ini lulus SMK. Dia pernah diajak temannya bekerja ke Jepang. Tetapi harus menggunakan uang pangkal 15 Juta. Sebuah nominal yang cukup besar, maka Pak Rahman tidak mengijinkannya. Lebih baik mencari rizki yang dekat-dekat saja. " Dimanapun kamu mencari rizqi, Tuhan telah menakarnya. Yang diperlukan hanya berusaha. Jadi tidak perlu khawatir". Ingatan Pak Rahman kembali pada tulisan Romli yang mencatat lengkap kata-katanya waktu itu. Padahal alasan sebenarnya adalah karena Pak Rahman sedang mengumpulkan uang untuk keberangkatan dia dan istrinya ke tanah suci.

Setelah peristiwa itu, Romli memang lebih banyak diam. Dan akhirnya, tidak lama dia berpamitan pergi menyusul Alip kakaknya. Merantau. Kebetulan ada perusahaan perkebunan kelapa sawit di Lampung yang memerlukan karyawan baru. Saat ini dia sudah sampai di sana.

Angan-angan pak Rahman terus melayang, membayangkan kondisi kedua anak laki-lakinya. Sekaligus keinginannya untuk bersama istri naik haji tahun depan. Dua hal yang selama ini tidak pernah datang bersamaan dan berbenturan dalam pikirannya.

"Ah. Apakah aku terlalu egois?" Pak Rahman bergumam ketika tersadar dari angan-angannya. Ia kemudian berdiri dan melangkah masuk. Istrinya yang sedang masak di dapur kemudian dipanggil.

"Ibu! Kemarilah." Istrinya segera muncul dari balik pintu belakang. Dengan masih dalam keadaan tidak tahu apa-apa, Pak Rahman melanjutkan.

"Besok, kita akan pergi ke Jakarta dan kemudian ke Lampung. Kita akan menengok rumah Alip dan kemudian ke tempatnya Romli."

Istri Pak Rahman hanya terbengong belum mengerti. Ada apa? Tapi dia dapat melihat mata suaminya berkaca-kaca. Suaminya menangis. Tapi kenapa? Dilihatnya kertas surat ditangan suaminya dan kemudian diambil dan membacanya,

Lampung, 15 Februari 2007

Kepada Ayahanda yang Terhormat

Di Pekalongan

.....................

Jogja, 2007.
*Cerpen ini pernah dipublikasikan dalam Majalah PesanTrend Edisi 6 tahun I Nopember 2009

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun