Beberapa kali mengikuti forum terkait hoax ternyata telah memberikan sebuah pandangan baru. Pada awalnya, saya berpikir bahwa hoax itu hanyalah guyonan yang tidak lucu dalam media internet.
Hoax adalah lelucon garing, yang pada masanya nanti para pemainnya lelah dan kemudian musnah. Kehawatiran tentang rusaknya masyarakat konsumen hoax juga saya pandang remeh. Awalnya mereka akan percaya, kemudian akan kecewa, selanjutnya mereka akan hati-hati, dan pada puncaknya mereka akan menertawakan. Betapa begitu remeh pandangan saya itu.
Setelah mengikuti beberapa kali forum, saya mulai berpikir bahwa hoax itu bukan main-main. Ada persoalan besar yang melatarbelakangi kemunculannya dan yang akan diakibatkannya. Hoax tidak hadir begitu saja karena keisengan.
Berdasarkan beberapa hasil study, hoax yang paling banyak disebar dan bersifat konsisten adalah hoax yang bermuatan politik. Ada kepentingan yang diperjuangkan secara sistematik dengan cara menyebarkan hoax. Ini jelas bukan keisengan. Ini skenario.
Akibat dar hoax itu sendiri ternyata tidak sederhana. Ada bagian paling sensitif dalam diri manusia, yaitu bagian syaraf otak yang berfungsi untuk melakukan perlindungan otomatis menjadi terganggu.
Akibat dari seringnya mengkonsumsi berita hoax, ada dua kemungkinan kerusakan, pertama pikiran kita terkooptasi informasi keliru yang terlanjur dibenarkan oleh sistem bawah sadar. Kedua, sistem perlindungan tersebut menjadi sangat sensitif sehingga mempengaruhi nalar sehat, akibatnya orang menjadi mudah marah, tidak percaya, dan selalui curiga. Pikiran negatif menguasai nalar sehatnya.
Terkait dengan sebab kemunculan hoax, ada beberapa model hoax. Pertama, adanya berita atau informasi hoax dipicu dari adanya media mainstream yang tidak mampu menampilkan diri secara independen dan berimbang dalam pemberitaan
 Hal ini menjadikan banyak pihak kemudian menggunakan kanal pribadi untuk menyalurkan informasi yang dia ketahui dan alami sendiri kepada khalayak. Jadilah kita masuk di era cityzen jurnalism. Seburuk-buruknya wartawan, mereka pernah menerima pembekalan dan pelatihan kode etik jurnalistik.
Bagaimana dengan cityzen yang berusaha menampilkan berita yang tanpa disadari mereka mengalami bias yang luar biasa. Hoax model ini, murni terjadi karena persoalan personal pemberi kabar berita yang tidak mampu membedakan antara fakta dan opini. Sehingga yang dia sangka kebenaran fakta ternyata adalah opininya sendiri yang kadang bernuansa politik, bahkan sara.
Kedua, hoax dipicu karena murni keisengan. Hoax model ini biasanya berupa konten yang lucu namun dan remeh, hanya sekedar untuk hiburan. Sumbernya beragam dan tersebar, Â tidak ada momentum khusus. Hoax model ini Bersifat reaksioner terhadap fenomena yang muncul. Tidak berbasis idiologi khusus. Hoax model ini bersifat menyehatkan. Jika ada yang mempersoalkan hoax model ini, mungkin seseorang itu kurang piknik.
Ketiga, hoax yang dibuat secara terstruktur, masif dan sistematis. Hoax ini yang berbahaya. Biasanya hoax ini dibuat dengan sangat serius dan untuk mencapai tujuan tertentu. Meski kadang bersifat reakisoner, namun garis maksud sebarannya tetap konsisten. Inilah hoax yang bernuansa politik. Menduduki presentase tertinggi menjelang perhelatan politik di sebuah negara. Indonesia mengalaminya saat ini.
Saya kemudian bertanya, mengapa orang melakukan kejahatan melalui hoax? Bisa jadi, pelaku penyebaran hoax itu tidak menyadari bahwa dia menjadi bagian dari skenario besar kepentingan tertentu. Bisa jadi, sebagian penyebar itu adalah orang yang berpikir bahwa mereka sedang berjuang. Jadi bukan sedang melakukan kejahatan.
Hoax adalah jalan suci yang harus ditempuh untuk melawan informasi media mainstream. Hal ini semata, mereka merasa bahwa yang diperjuangkan dengan segala kebohongan, adalah sebuah kemenangan yang mulia di mata Tuhan.
Mengapa mereka bisa begitu yakin. Ada sebuah ulasan mengenai pengembangan diri yang bisa menjelaskan ini. Bahwa kita seringkali terjebak pada situasi dan kondisi dimana kita merasa istimewa. Bahwa pengetahuan kita adalah sesuatu yang tidak diketahui oleh orang lain. Bahwa tujuan kita adalah tujuan mulia, yang tidak disadari oleh orang lain. Bahwa kondisi kita adalah sangat khusus dan spesial, sehingga memberikan hak istimewa berupa pembenaran bagi kita melakukan apapun saja yang kita suka. Padahal, semua itu hoax.
Manusia adalah istimewa diantara makhluq Tuhan yang lain. Namun diantara manusia, kita semua sama. Hanya kualitas personal dalam konteks taqwa yang membuat diantara manusia berbeda. dan yang menjadi menarik adalah, bahwa yang memiliki otoritas untuk membedakan dan menilai kualitas taqwa tidak lain dan tidak bukan adalah Tuhan sendiri. Tidak ada yang punya otoritas selain Dia.
Dengan demikian, tidak perlu para manusia saling menilai dan berebut posisi di hadapan manusia agar disangka dan didudukkan dalam posisi mulia. Karena itu penilaian palsu semata. Tidak ada yang tahu persis kedudukan taqwa manusia yang lain. Kecuali Rosulullah SAW, tidak ada manusia istimewa, semua sama. Tidak usah saling klaim, dan tidak usah sok-sokan untuk menilai orang lain. Karena dipastikan bias dan tidak objektif.
Oleh karena itu, hoax perlu diatur dengan hukum. Hukum adalah batasan minimal agar kehidupan antar manusia bersifat tertib, tidak saling tabrak. Jika manusia tidak lagi mengikuti apa yang digariskan hukum, dan lebih memilih garis dibawahnya, maka tunggu saja, kehidupan manusia akan chaos.
Tidak ada lagi yang merasa aman, tidak ada lagi yang merasa harus khawatir menganggu hak orang lain, karena semua garis sudah tidak ada artinya lagi.
Yogyakarta, 26 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H