Jika demokrasi masih dimaknai dengan pertarungan elite, maka saya katakan itu bukan demokrasi, tetapi kepalsuan demokrasi. Karena rakyat menjadi alasan kesekian, atau bahkan lebih parah, rakyat hanya dijadikan sebatas alat legitimasi politik kaum elite. Dalam bahasa lain ini adalah sebuah penghianatan politik.
Musuh Bersama
Dalam sebuah istilah klasik, untuk bisa bersatu kita harus memiliki musuh atau tantangan yang sama. Jadi kesatuan itu bisa dibangun dengan menyamakan persepsi tentang hal-hal apakah yang mendasari kita melakukan sesuatu dan tujuan-tujuan apa yang akan dicapai dalam melakukan sesuatu. Sehingga dalam langkah ke depan, diperoleh satu sinergi yang utuh, karena masing-masing komponen masyarakat merasa memiliki peran dan kontribusi yang penting dalam memajukan bangsa.
Jika dahulu barangkali musuh yang dihadapai adalah nyata, yaitu Penjajah Asing. Saat ini, setelah merdeka, kita seperti tidak memiliki musuh yang nyata lagi.Â
Kemiskinan, kebodohan, ketimpangan penghasilan, ketidakmerataan pembangunan, rasa kesukuan, seolah bukan musuh yang mesti kita hadapi bersama. Itu semua hanya menjadi sampingan aksi setelah kepentingan masing-masing orang sudah terasa cukup terakomodir. Musuh, oleh kita sekarang dimaknai sama dengan saat bangsa kita dahulu mengangkat bambu runcing. Sehingga tidak ada semangat kita untuk bangkit. Kemerdekaan adalah final, selanjutnya, tampaknya kita tidak pernah terpikir dengan serius.
Syarif_Enha@Smg, 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H