Jika anda ingin memiliki buku yang sudah tidak lagi diterbitkan, tidak ada jalan lain selain melakukan fotokopi. Meski jelas bukan dua hal yang sama, namun itu hasil fotokopi merupakan duplikasi dari sebuah keaslian yang bagaimanapun miripnya hasil fotokopi tetaplah itu hasil fotokopi yang bukan aslinya.Â
Bahkan jika tidak lagi mampu dibedakan keberadaan mana asli dan mana yang tidak asli, tetap saja fotokopi bukanlah asli. Namun apalah nilai penting dari eksistensi asli atau fotokopi jika secara substansi memiliki nilai dan isi yang sama. Jika titik pandang kita hanya sebatas pada wujud ada, maka akan segera kita tertipu, karena ternyata tidaklah perbedaan wujud itu menjadi masalahnya, melainkan perbedaan isi dan substansi.
Plagiasi dalam konteks karya jelas bukan sekedar masalah fotokopi. Plagiasi dalam karya tulis merupakan pencatutan ide orang lain dan dikatakan sebagai ide original, atau dengan menampilkan pemikiran orang lain tanpa memberikan petunjuk sama sekali bahwa itu adalah kutipan ide orang lain, sehingga ketika ada orang membaca mengira bahwa pemikiran tersebut adalah asli pemikiran penulis sendiri.Â
Jadi perbedaan mendasar antara fotokopi dan plagiasi adalah ketidak jujuran. Dalam fotokopi orang jujur menampilkan apa adanya hasil kopian dari benda yang asli, sedangkan dalam plagiasi, pembaca ditawarkan pemikiran original yang sebenarnya saduran.
Sportivitas memiliki posisi yang paling tinggi dalam tata nilai di dunia olah raga. Kecurangan yang menciderai sportifitas langsung mendapat vonnis berat dari wasit maupun federasi olah raga terkait. Tidak ada yang bisa diunggulkan dalam dunia olah raga ketika sportifitas tidak lagi menjadi nilai tertinggi.
Keadilan sering kali dirujuk sebagai nilai tertinggi dalam dunia hukum. Hukum yang tidak adil sejatinya bukan hukum. Dia hanya seolah-olah hukum. Bukan hukum yang sebenarnya. Padahal hukum dan keadilan memiliki dasar falsafah tersendiri. Keadilan merujuk kepada pembagian yang merata dan proporsional pada semua pihak yang berkepentingan. Sementara hukum memiliki akar falsafahnya pada potensi pengingkaran manusia pada ketentuan abstrak moralitas, sehingga perlu ada nilai-nilai yang dipaksakan dengan sanksi.
Curang adalah menciderai nilai kejujuran. Potensi besar curang ada di pasar. Yaitu tempat orang melakukan jual beli, hampir semua hal. Orang cenderung berusaha mendapatkan hasil yang maksimal dengan usaha atau modal yang minimal. Sehingga usaha-usaha curang sering kita temui dalam berbagai bentuknya.Â
Misal berkurangnya timbangan, disembunyikannya cacat barang, atau memalsukan informasi. Seorang yang sudah dikenal curang akan sulit mendapatkan kepercayaan. Karena tertipu akan meninggalkan traumatik yang hebat dalam diri manusia. Tertipu adalah kecelakaan yang paling memalukan yang harus dialami oleh seseorang. Sehingga sangat mungkin menimbulkan rasa benci dan dendam yang berlebihan.
Curang sebagaimana tadi saya sampaikan hanya terjadi dalam wilayah jual beli tawar menawar di pasar. Namun sekarang banyak kita temui kecurangan dalam semua lini. Ada banyak ketidakjujuran yang tampak di hadapan kita. Apakah berarti curang telah melompat keluar dari lingkungan pasar? Saya kira tidak, tetapi pasarlah yang berubah sedemikian luas, melingkupi semua sendi kehidupan, yaitu ketika semua hal kita pandang dari kepentingan ekonomi, transaksional, dan tawar menawar...
Syarif_Enha@Nitikan, 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H