Suatu ketika Guru Besar Confucius ditanya yang kurang lebih demikian, "apakah yang paling penting untuk dilakukan ketika seseorang mulai berkuasa?"Â
Kemudian Sang Maha Guru Confusian ini menjawab dengan jawaban yang tidak biasa. "Pertama kali harus dipastikan bahwa setiap benda, peritiwa dan segala hal sudah tepat penamaannya."
Apa pentingnya nama dan penamaan dalam konteks kekuasaan negara yang begitu besar? Paling tidak itu pertanyaan awal yang muncul begitu mendengar jawaban Maha Guru tersebut.
"Kalau nama-nama saja tidak benar, maka bahasa tidak memiliki objek. Jika bahasa tidak memiliki objek yang benar maka tidak ada yang bisa dilakukan dengan tepat. Jika tak ada sesuatu pun yang dilakukan dengan tepat, maka ritual pun menjadi amburadul, musik kehilangan harmoninya, dan hukuman tak lagi memadai untuk mengatasi kejahatan." Sergah Maha Guru kemudian.
"Apapun yang dimaksud oleh seseorang, ia harus mengungkapkannya dalam kata-kata yang bisa dikomunikasikan. Dan apapun yang dikatakan oleh seseorang, maka ia harus mampu melaksanakan. Dan bilamana kita membicarakan tentang bahasa, maka yang paling penting adalah ketepatan. Tak ada sesuatu pun yang boleh dibiarkan melompong sehingga menimbulkan salah tafsir." Lanjut Maha Guru.
Itu dialog yang sudah terjadi ratusan tahun yang lalu. Namun kondisi sekarang saya pikir sangat relevan. Di tengah situasi manusia dikepung teknologi internet, dan berkembangnya media sosial yang menghubungkan satu orang dengan banyak orang, petuah Confusius ini perlu dipertimbangkan.
Beliau mengingatkan, ketika tidak ada ketepatan istilah dan nama atas suatu benda, peristiwa atau apapun, maka tidak ada yang bisa dilakukan. Amburadul.Â
Peristiwa yang terjadi satu, namun narasi yang beredar begitu banyak dan tidak bersesuaian, maka bukan informasi yang tersebar, melainkan gosip. Bukan mencerahkan, namun memagari, framing, dan politis. Manusia yang hidup dalam situasi ini sulit mengambil kesimpulan yang meyakinkan.
Bagaimana mungkin peradaban dibangun, sementara arah pembangunan tidak bisa dipahami dengan jelas apa, bagaiamna dan ke mana?Â
Masing-masing bisa menterjemahkan dan memaknai tanpa harus bersinergi. Yang terjadi bukan pembangunan peradaban, melainkan perebutan berbasis individualisme. Padahal satu syarat kemajuan bersama adalah adanya kesepahaman tentang arah kemajuan itu sendiri.
Antara pemimpin, aparat pemerintahan, alim cendekia, pengusaha penggerak ekonomi, masyarakat halayak umum, mestinya memiliki pandangan yang sama tentang apa itu negara, kepemimpinan, kebijakan, program, kepentingan, keberpihakan, dan seterusnya, sehingga mengerti wilayah garap dan pertanggungjawab masing-masing. Jika tidak, maka kita selalu benturan satu-sama lain sambil merasa kita baik-baik saja. Syarif_Enha@Sorogenen 23, 11 April 2020