Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan Orang yang Tidak Suka Sinetron

13 Juni 2020   06:17 Diperbarui: 13 Juni 2020   06:56 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejahatan kalah dengan kebaikan adalah hanya sebatas kesimpulan, namun sepanjang cerita yang ditampilkan justru sebaliknya. Tokoh utama selalu terlunta-lunta dengan kebaikannya dan para penjahat dengan gegap gempita menari di atas kemenangan. Adakah cukup kesimpulan itu mempengaruhi imaji pemirsa, yang hanya menyaksikannya pada dua episode terakhir, dan selebihnya, ratusan episode berisi dengan hal sebaliknya. Dengan demikian, nilai apa yang yang akan lebih tertanam pada pemirsa?

Penulis terkaget-kaget saat anak ibu kos penulis yang masih sekolah dibangku SD kelas satu, suatu sore berteriak keras memaki-maki kekeknya yang sudah agak kurang pendengaran dengan kata-kata mirip seperti di sinetron, hanya karena kakeknya memindahkan bonekanya yang sedang dibuat mainan. 

Kemudian datang Ibu kos yang membuat penulis lebih kaget lagi, karena bukan memperingatkan anaknya, tetapi malah justru menambahkan umpatan anaknya dengan kata-kata yang lebih kasar. Inikah buah dari terlalu seringnya mereka duduk menekuri TV dengan tayangan-tanyangan yang cenderung sadis saban malamnya?

Saat sebuah sinetron selesai dibuat, maka matilah penulis cerita dan sutradara bersamanya. Mereka seolah sudah tidak bisa dipersalahkan dengan kenyataan pengaruh dari apa yang mereka hasilkan. Itu semua kembali pada kedewasaan para pemirsa dalam menyaring nilai-nilai yang patut dan tidak patut ditelan. 

Namun seringkali kita melihat bahwa sinetron itu bersifat aktif mencekoki pemirsanya dengan berbagai persepsi-persepsi yang perlahan-lahan hidup dan tumbuh pada diri hampir semua pemirsanya. Para penulis cerita maupun sutradara seperti meninggalkan semacam virus atau mikroba yang perlahan-lahan secara aktif melakukan pembusukan.

Sinetron dan Budaya Semu

Kenyataan bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk lebih dari 200 juta manusia, dan hanya segelintir masyarakatnya yang menikmati kekayaan negeri dengan melimpahnya fasilitas. Selebihnya, lebih dari 30 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan dan sisanya adalah kelas menengah. Begitu juga dengan tingkat pendidikan yang berkembang linier dengan kondisi hidup masyarakat.

Namun, kenyataan itu tidak pernah kita temui dalam sinetron-sinetron kita. Hanya keglamouran dengan budaya hidup kelas atas, konsumtif dan penuh gaya. Bahkan tanpa jelas mereka bekerja sebagai apa, penghasilan mereka seolah berlebih untuk bisa membeli apa saja. Dan perhatikan pula penampilan para pemainnya, terutama yang wanita, bagaimana saban harinya, mereka selalu bermake-up cantik bahkan walau hanya sekedar seharian di rumah. Baju mereka adalah baju rancangan desainer terekenal, dan tatatanan rambut mereka, adalah tatanan yang tidak bisa selesai dengan waktu dandan hanya lima belas menit.

Secara tidak sadar, ada budaya semu yang ditampilkan dalam setiap sinetron yang diproduksi, ada konsumerisme dan kapitalisme yang menjadi idiologinya. Hal ini tidak mengherankan, karena dunia keartisan memang dunia yang semu, dunia yang seolah-olah. Dunia yang dipenuhi dengan kepura-puraan dengan tujuan menghibur. Dan hiburan adalah masalah keindahan, dan keindahan adalah mahal adanya. Sehingga sudah menjadi sifat entertainment bahawa mereka harus tampil glamour dan mengikuti mode. Meksi itu semua mungkin hanya ada ditampilkan di depan layar saja.

Meski budaya yang ditampilkan adalah budaya semu, namun dampak yang ada dalam masyarakat sangat nyata. Jauh dari semu. Orang jadi lebih temperamen dan mudah marah, orang jadi lebih suka pada barang dengan model terkini, mengikuti tokoh idolanya di TV. Orang jadi suka berbelanja dengan alasan yang sangat naif, karena begitulah kehidupan yang mereka saksiakan di layar kaca. Masyarakat telah teracuni secara nyata, oleh sebuah budaya yang sebenarnya adalah semu saja.

Apakah sinetron yang baik itu adalah sinetron tentang kisah kemiskinan? Saya rasa tidak juga. Sebuah kisah apapun bentuknya, entah itu dalam bentuk film, sinetron, novel, maupun cerita pendek, ukuran baik dan buruknya bukan hanya pada hal apa yang dia ceritakan, tetapi bagaimana dia diceritakan. Kisah yang baik akan menjadi tak bermutu sama sekali jiga gagal dalam penceritaannya. Begitu juga cerita yang biasa-biasa akan menjadi sebuah kisah yang menarik dan kaya dengan nilai, jika cara penceritaannya bagus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun