Menunggu bagi kebanyakan orang adalah sebuah kondisi yang sangat tidak diinginkan bahkan sering dikatakan sebagai menyiksa. Apalagi dalam kondisi perkembangan peradaban manusia yang semakin dituntut untuk hidup disiplin dan efisien, menyebabkan orang lain menunggu hampir bisa disebut sebagai sebuah kejahatan.
Semakin lama kita menunggu semakin terasa makin tidak nyaman dan menyiksa. Apalagi jika menunggu tanpa ada kepastian waktu yang kita tunggu.Â
Misalkan menunggu kehadiran seseorang yang masih dalam perjalanan dan kita tidak tahu posisi mereka berada dimana. Menunggu menjadi sesutu yang sangat menyakitkan.
Namun menunggu sebenarnya tidak selamanya memiliki dimensi yang negatif dan selalu dipersalahkan. Jika kita melihatnya secara dalam kepada maksud dan tujuan kita dalam menunggu.
Maka, menunggu akan menjadi satu tarekat atau jalan kita menuju satu tingkat kemuliaan. Berikut adalah sebuah kisah yang cukup tepat untuk menggambarkan tentang kondisi menunggu yang seringkali banyak dikeluhkan oleh semua orang.
Dalam kitab Fihi Ma Fihi, dituliskan bahwa suatu hari Amir (Kepala Pemerintahan) datang ke kediaman Jalaluddin Rumi.Â
Setelah lama Amir menunggu, datang anak tertua Rumi, yaitu Bahauddin, meminta maaf seraya berkata, "Ayahku berkata bahwa dia tidak ingin menempatkanmu dalam masalah ketika kamu mengunjungiya."Â
Namun Amir berkata, "Aku tidak datang kemari agar Sang Guru menemuiku dan berbicara denganku. Tujuan kedatanganku adalah mendapatkan kehormatan berada diantara hamba-hambanya."
Kemudian Amir menceritakan keadaannya kepada Rumi ketika akhirnya berkesempatan menemuinya, dia menyatakan bahwa perbuatannya tersebut adalah sebuah jalan mencari ilmu.Â
Ketika Sang Guru tengah khusuk dan tidak menunjukkan diri sampai membuatnya menunggu lama sekali, membuatnya sadar betapa sulit dan tidak menyenangkannya jika dirinya membuat orang lain menunggu ketika mereka sampai di pintunya dan dia tidak siap menyambut mereka.Â
Sang Guru telah membuatnya merasakan kegetiran itu dan telah memberinya pelajaran sehingga dia tidak akan bertindak seperti itu kepada orang lain.
Mendengar keterangan tersebut, Rumi menjawab, "Itu tidak benar. Sikapku yang membuatmu menunggu adalah sebuah ungkapan dari kebaikan cinta tulus.Â
Sebagaimana difirmankan Allah, "Wahai anak-Ku, Aku akan mengabulkan permintaan terkecilmu dan ratapan teringanmu tanpa penagguhan, itu semua karena suara ratapanmu begitu manis di telinga-Ku. Jawaban-Ku kelu tak terucapkan dalam harapan-harapan bahwa kamu mungkin akan meratap lagi dan lagi, karena bunyi suaramu begitu manis bagi-Ku."
Diceritakanlah kisah yang sangat dikenal tentang dua orang peminta-minta yang datang mengetuk pintu seseorang. Yang satu sangat dicintai dan diharapkan, sedangkan yang satunya lagi dibenci. Pemilk rumah akan memberikan dengan serta merta keinginan pengemis yang dibencinya agar segera pergi.Â
Sedangkan kepada pengemis yang dicintainya, pemilik rumah memberikan janji-janji, dengan berkata, "Rotinya belum dibakar. Tunggulah dengan sabar sampai roti itu benar-benar matang."
Setelah Amir pergi, Rumi berkata, "kenyataan bahwa Amir datang dan aku tidak menunjukkan batang hidungku seketika itu hendaknya tidak mencemaskannya. Tujuannya datang kemari bukanlah untuk memberikan salam hormat kepadaku atau kepada dirinya.Â
Jika tujuannya untuk menghormatiku, maka makin lama dia duduk dan menunggu, makin besar dia mendapatkannya. Jika sebaliknya, tujuannya untuk menghormati dirinya sendiri dan mencari pahala, maka semenjak dia menunggu dan menggung luka menunggu, ganjaran akan semakin besar. Apapun itu, tujuan kedatangannya terwujud berkali-kali, sehingga dia akan merasa bersyukur dan beruntung.
Begitu luas Allah menaburkan ilmu di muka bumi ini. Sehingga setiap peristiwa merupakan satu guratan ilmu yang dalam. Bahkan di setiap helai daun yang jatuh, ada ilmu dibaliknya jika manusia mau menggalinya.Â
Maka benar ungkapan sebuah kalimat, bahwa ilmu Allah tidak akan habis selesai untuk dicatat dengan tujuh buah samudra sebagai tintanya dan seluruh pohon di dunia sebagai penanya.
Menunggu bisa jadi menjadi sebuah tangga bagi seorang salik untuk memperoleh satu tingkat kemuliaan yang lebih tinggi. Sehingga bagi kita yang sering dijengkelkan dengan pekerjaan menunggu, marilah sedikit meluangkan waktu untuk merenung, apa yang kita cari dalam penungguan itu?Â
Apakah kehormatan diri, ataukah penghormatan kita kepada orang lain? Menunggu kita sebagai bentuk pengabdian, atau sekedar menjalankan keharusan-keharusan? Semuanya akan tergantikan sepadan sesuai dengan niat kita.
Syarif_Enha@Semarang, 6 Mei 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H