Imam Mawardi sampai saat ini selalu dijadikan rujukan para ulama ketika hendak menentukan pemimpin. Imam Mawardi telah berhasil merangkum tujuh kriteria besar bagi seorang calon pemimpin yang terilhami dari tradisi dan ajaran Islam. Beliau mengemukakan tujuh syarat itu sebagai berikut:
- 'Adalah, beserta dengan semua prasyaratnya. Artinya seorang pemimpin haruslah seorang yang memiliki moralitas yang tinggi, bisa dipercaya dan bisa berbuat adil dalam segala persoalan.
- Memiliki Ilmu yang dapat mengantarkan pada ijtihad dalam berbagai kasus dalam hukum. Seorang pemimpin harus cerdas dan berwawasan luas, sehingga tidak sekedar dibuktikan dengan lembaran ijasah.
- Sehat panca indra, seperti pendengaran, penglihatan dan lisan, supaya dapat mengetahui sesuatu secara langsung. Hal ini penting agar seorang pemimpin tidak mudah disetir dan bergantung pada orang-orang di dekatnya.
- Tidak memiliki cacat anggota badan yang dapat menghalangi kesigapan gerak dan kecekatan kerja. Tugas seorang pemimpin adalah amat berat, sehingga dibutuhkan kekuatan fisik yang kuat pula, agar mampu menjalankan tugas dengan baik.
- Mempunyai pandangan yang dapat membawa kepada kebajikan rakyat. Dalam bahasa lain, seorang pemimpin haruslah memiliki ittikad baik untuk mensejahterakan rakyatnya, bukan sebaliknya, menyengsarakan dan mengangkangi rakyat.
- Memiliki keberanian dan kegigihan untuk melindungi kawan dan memerangi lawan. Dalam konteks Indonesia sekarang, prasarat ini sangat penting, karena keberanian pemimpin dan sikap tegas seorang pemimpin akan membawa kepada kewibawaan dan kedaulatan negara. Sehingga tidak mudah diintervensi dan dijajah oleh negara lain dalam bentuk apapun. Kondisi umat Islam saat ini, baik di Idonesia maupun di dunia sudah pada titik yang menghawatirkan. Issu terorisme yang dituduhkan kepada umat Islam, dan kiat umat Islam sendiri tidak mampu dan berani melawan. Justru ikut arus opini Amerika dalam mendikotomikan Islam. Kemudian peristiwa agresi Palestina yang sepi respon konkret dari negara-negara Islam. Semua ini menunjukkan betapa umat Islam yang besar, tidak memiliki bergaining power sama sekali.
- Berketurunan dari kaum Quraisy. Berkaitan dengan prasarat terakhir ini terjadi perdebatan. Namun wacana kontemporer memberikan pemaknaan lain. Ibnu Kholdun menyatakan bahwa hikmah dari di khususkannya kepemimpinan ini kepada kaum Quraisy adalah karena mereka adalah golongan terkuat dan menjadi pusat kepemimpinan yang diakui oleh semua bangsa di Arab waktu itu. Sehingga pada syarat ketujuh ini, seorang pemimpin hendaknya kuat, diakui dan mampu mempersatukan semua atau mayoritas elemen masyarakat yang ada. Tanpa harus melihat dari golongan mana mereka berasal.
Ketujuh syarat di atas, bersifat integratif, artinya semua syarat tersebut sebisa mungkin untuk terpenuhi dalam diri seorang pemimpin. Jikapun ternyata tidak kita ketemukan sifat-sifat itu secara keseluruhan pada diri seseorang, maka pilihlah seorang pemimpin yang memiliki sifat 'adalah. Karena Rasul pernah menyatakan lebih baik pemimpin kafir yang adil dari pada seorang muslim yang berbuat dzalim.
Pentingnya Memilih Pemimpin
Muhammad Abduh suatu ketika berpolemik dengan Ernest Renan -seorang filosof Perancis- tentang keunggulan agama Islam dan Kristen. Ketika Renan terdesak oleh argumen Abduh tentang keunggulan ajaran Islam, Renan mengalihkan kepada persolan keummatan. Renan bertanya, mana diantara umat Islam itu yang merupakan gambaran dari Islam yang hebat itu?Â
Dengan sedih, Abduh menjawab bahwa umat Islam mundur karena meninggalkan agamanya. Sebaliknya orang-orang Eropa yang Kristen, maju karena meninggalkan agama Kristennya.
Abduh melihat bahwa ajaran Islam adalah sebuah ajaran yang komplit. Sehingga dengan mendalami dan berpegang pada agama Islam, maka ummat akan mampu berjaya kembali. Baik dalam konteks agama maupun dalam konteks ilmu pengetahuan.
Analisa Abduh tentang keterpurukan umat Islam saat ini, jika ditinjau dari sudut kepemimpinan, dapat dibaca pula bahwa kemunduran tersebut karena umat Islam saat ini tidak memiliki seorang pemimpin, yang secara agama maupun urusan dunia mampu memaksimalkan potensi-potensi yang ada.
Kondisi ini tidak boleh dibiarkan saja. Kesempatan konstitusional yang ada melalui pemilu, mestinya menjadi satu momen yang menentukan. Saatnya umat Islam bangkit dimulai dari masing-masing kita menentukan pilihan, siapa yang akan menjadi pemimpin kita.
Allah SWT dalam firman-Nya menyatakan: "Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, sehingga kaum itu melakukan perubahan itu sendiri." (QS. Ar-Ro'du: 11).
Dalam konteks Indonesia, problem ini dihadapi paling tidak lima tahunan menjelang Pemilu. Usaha merubah Indonesia ada pada kita semua yang melakukan pemilihan sebagai bentuk ikhtiar. Tentunya memilih dengan satu ijtihad yang dalam, bahwa orang yang dipilih itu adalah orang yang menurut kita sebagai figur yang paling pas.