Dalam setiap pergantian pemimpin nasional, wacana mengenai Imam Mahdi atau Ratu Adil sebagaimana dikonsepkan dalam kosmologi Jawa, selalu menghangat. Imam Mahdi atau Ratu Adil selalu diakitkan dengan sosok pemimpin yang adikuasa dan mampu menghilangkan malapetakan serta menghadirkan negara yang "gemah ripah loh jinawi" yang berarti kemakmuran untuk semuanya.
Adalah Rangga Warsita, yang melalui kemampuan prediksinya sebagai seorang pujangga, jauh pada masa yang lalu, menyatakan bahwa pada masa kepemimpinan Indonesia yang ketujuh, yang disebut sebagai "Satriya Pinandhita Sinisihan Wahyu"-lah, Bangsa Indonesia akan menemukan kejayaannya. Sebelumnya, menurut Rangga Warsita, Indonesia akan mengalami proses melalui enam kepemimpinan terlebih dahulu.
Jika merunut enam kepemimpinan yang diramalkan oleh Rangga Warsita, maka dapat kita temui kecocokan ramalannya.
- "Satriya Kinunjara Murwa Kuncara." Artinya pemimpin yang banyak mendapat kekakangan penjara dan hambatan lain, namun namanya amat dikenal dan tersohor bahkan sampai di dunia internasional. Soekarno dianggap mewakili kepemimpinan ini.
- "Satriya Mukti Wibawa Kesampar Kesandung." Artinya pemimpin yang memiliki wibawa yang luar biasa, sehingga hampir-hampir tidak ada lawan politik yang sebanding, namun akhirnya "kesampar-kesandung" alias runtuh karena rakyatnya sendiri. Soeharto diyakini mewakili kepemimpinan ini, yang akhirnya tergulingkan karena demonstrasi mahasiswa melalui reformasi.
- "Satriya Jinumput Sumela Atur." Artinya pemimpin yang diambil atau diangkat sekenanya, tanpa mengikuti aturan atau mekanisme yang semestinya. Sehingga banyak suara miring dan ketidakpuasan yang muncul. B.J. Habibie diyakini mewakili kepemimpinan ini. Karena banyak kalangan yang menyatakan bahwa mestinya pasca refromasi kepemimpinan harus dikembalikan kepada rakyat.
- "Satriya Piningit Hamong Tuwuh." Artinya pemimpin yang sulit ditebak, banyak tindakan-tindakan yang tidak masuk akal. Selain itu, kedudukannya hanya sebagai alternatif di tengah kesemrawutan. Namun pada dasarnya memiliki empati yang luas pada rakyatnya. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur diyakini sebagai representasi kepemimpinan ini.
- "Satriya Boyong Pembukaning Gapura." Artinya pemimpin yang memindah istana dan merupakan masa awal periode keterbukaan atau demokrasi. Megawati Soekarno Putri merupakan representasi yang tepat. Dialah yang "boyongan" atau pindah dari istana Wakil Presiden ke istana Presiden. Dan dalam kepemimpinannyalah terjadi pemilu langsung pertama yang dinilai sukses sebagai tonggak demokrasi.
- "Satriya Lelana Brata." Artinya pemimpin yang suka melakukan kunjungan dan menebar pesona ke pelosok-pelosok negeri dan bahkan ke manca negara. Dalam sebagian atfsir yang lain, juga dimaknai sebagai pemimpin yang sudah malang melintang sebagai pejabat atau tokoh dalam pemerintahan sebelumnya. Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY dinilai cukup mewakili represntasi kepemimpinan ke enam ini.
Jika ramalan Rangga Warsita dimaknai berawal dari kemerdekaan Indonesia, dan mengikuti secara beruntun pergantian pemimpin seperti di atas, maka pada Pemilu Juli nanti, kita akan menentukan kepemimpinan paripurna. Ada baiknya kita ketahui karekteristik pemimpin paripurna yang dikemukakan oleh Rangga Warsita, yaitu, "Satriya Pinandhita Sinisihan Wahyu." Artinya, dia adalah pemimpin yang sudah "manunggaling kawula lan gusti", bisa sekaligus menjadi orang tua, Kiai, Ulama, atau Pinandhita yang memiliki ilmu hikmah dari Tuhan. Dengan kata lain, kepemimpinan paripurna ini adalah kepemimpinan seorang pawang, yang memiliki ilmu fisika maupun metafisika. Dapat bergaul dan diterima, baik oleh bangsawan maupun rakyat jelata, sebagai representasi "manunggaling kawula lan gusti."
Ramalan yang lain adalah pandangan mistik yang dikenal dengan Jangka Jayabaya. Jangka Jayabaya ini menurut beberapa literatur merupakan hasil pandangan mata batin Syeck Syamsu Zein. Beliau menyatakan bahwa Indonesia akan mencapai puncak kejayaan saat para pemimpin yang ada telah menyimpulakn liturgi (semacam rima) "natanagara". "Na" pertama adalah untuk Soekarno, "ta" untuk Soeharto, "na" berikutnya banyak diperdebakan antara Baharuddin Yusuf Habibie atau Abdurrahman Wahid. artinya "na" yang kedua menjadi tidak utuh, tetapi "na" yang mati dipangku (dalam huruf jawa, agar sebuah huruf mati harus diberi beri pasangan atau di pangku). Sementara itu yang lebih kuat justru Susilo Bambang Yudhoyono, memiliki kecocokan liturgi "na" yang sempurna.
Itulah ramalan, kebenarannya akan mengikuti pada kenyataan. Siapa pemimpin selanjutnya yang akan meneruskan liturgi itu menjadi sempurna? Dan apakah dengan terpenuhinya liturgi itu juga berarti puncak kejayaan Indonesia akan benar-benar terwujud? Semoga saja. Yang jelas, dalam menunggu kita jangan hanya berpangku tangan. Ratu Adil harus kita sambut dengan kesiapan penuh, karena ada sebuah falsafah yang mengatakan "bagaimana rakyatnya, begitulah pemimpinnya".
Syarif_Enha@Semarang,2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H