Puasa sebagaimana tujuan awalnya yaitu untuk meningkatkan ketaqwaan individu, maka sudah semestinya memiliki sasaran kualitas yang lebih tinggi daripada sekedar menahan lapar dan dahaga.
Puasa harus mampu membentuk diri seorang muslim untuk lebih ikhlas, lebih lembut, lebih rendah hati, lebih mampu mengendalikan emosi, lebih tebal keyakinan imannya, lebih jernih ketulusan jiwanya, dan dampak positif lainnya yang membekas dalam perilaku kesehariannya.
Tapa dalam dunia Jawa yang juga merupakan media latihan batin untuk menyempurnakan tingkat kualitas manusia, memiliki tahap dan tujuan yang hampir serupa dengan puasa. Hanya saja, puasa adalah sebuah perintah Allah yang bersifat transenden dan rahasia antara pelaku dan Allah saja, sedangkan tapa merupakan upaya manusia sendiri untuk berusaha mencapai tingkatan kualitas manusia yang tertinggi.
Ada kedekatan konsep dalam tataran horizontal dari hasil atau output puasa dan tapa, yaitu terciptanya manusia yang memiliki semangat sosial dan berderma kepada sesamanya. Agaknya inilah mengapa Islam dahulu dengan mudah disisipkan oleh para pendakwah Wali Songo, yang secara intens telah melakukan pencerahan.
Akhirnya, apakah dengan adanya puasa sebagaimana diperintahkan dalam agama Islam yang dianut oleh umat Islam Jawa, meniadakan kegiatan tapa yang sejak dahulu sudah dikenal?
Ternyata bagi sebagian kelompok komunitas Jawa, tapa masih menjadi salah satu metode untuk menemukan kedalaman batin. Meski kemudian tapa diistilahkan dengan puasa dan diisi dengan berbagai bacaan wirid.
Kita lazim mendengar bagi orang-orang yang ingin mendapatkan ilmu kesaktian, sebelumnya harus mau melakukan puasa mutih, atau puasa ngrawat, ngebleng, pati geni atau apapun, yang tujuannnya untuk mendapatkan kebersihan jiwa sebelum ilmu kesaktian tersebut dipelajari.
Jika ditinjau dari segi sosiologi, adanya puasa mutih, pati geni dan sebagainya itu tidak menjadi sebuah persoalan. Dalam satu sisi hal itu bisa dimaknai sebagai satu titik keseimbangan antara manusia dengan alam beserta isinya.
Namun jika dilihat dari segi akidah Islam, maka hal ini menjadi sebuah persoalan. Adanya tujuan akhir ibadah dan perilaku lain selain untuk Allah SWT dapat disebut syirik.
Barangkali kondisi di atas merupakan warisan para dai penyebar Islam di Jawa, yang berusaha mengawinkan antara tradisi dan agama. Dan tugas para wali tersebut belum selesai.
Tugas kita sekarang, bukan untuk mematikan tradisi, tetapi untuk meluruskan niat. Bahwa puasa sejatinya dalam Islam adalah usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan meningkatkan ketaqwaan kita kepadaNya semata.