Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kabar Zaman dari Burung Gagak

22 Mei 2020   03:37 Diperbarui: 22 Mei 2020   03:40 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah literatur sufi, dikisahkan suatu hari Allah mengirim malaikat untuk memberi tahu Raja Sulaiman bahwa tugasnya di dunia ini akan segera berakhir; malaikat itu ditugasi untuk mencabut nyawanya. Ketika malaikat menyampaikan berita itu kepadanya, Sulaiman menyatakan ingin mengetahui keadaan dunia sepeninggalnya nanti.

Malaikat itu kemudian kembali menghadap Allah. Allah bersabda, "Baik, Aku beri uluran waktu empat puluh hari bagi Sulaiman. Katakana padanya, selama empat puluh hari itu ia harus mencari tahu apa yang akan terjadi setelah dia meninggal nanti."

Malaikat itu kembali lagi ke Sulaiman, mengatakan segalanya. Kemudian Sulaiman mencari berita tentang masa depan kehidupan sepeninggalnya. Dia bertemu dengan elang yang berumur dua ribu lima ratus tahun. Setelah mengetahui maksud Sulaiman, maka si gagak mengisahkan perjalanan hidupnya.

"Pada suatu masa aku pernah terjebak dalam musim dingin yang ganas hingga hampir mati. Kebetulan waktu itu aku hinggap pada menara masjid yang terbuat dari emas. Ketika kulayangkan pandangan ke bawah, tampak di masjid sedang dilaksanakan sembahyang jemaat. Para lelaki berjenggot putih berderet di saf terdepan. Yang berjenggot hitam berderet di belakangnya. Dan yang belum berjenggot berderet di saf belakang. Ketika upacara selesai, mereka melihat ke atas, dan melihatku di atas menara. Salah seorang diantara jemaat itu berkata, "Burung malang, tentunya ia kelaparan. Ayo kita potong seekor kerbau, dagingnya kita berikan kepadanya." Mereka pun menyembelih seekor kerbau, lalu memberikan dagingnya untuk kumakan.

Seratus tahun kemudian, seratus tahun kemudian, musim dingin yang kejam itupun kembali berulang. Aku terbang di suatu negeri asing dan hinggap di sebuah menara masjid yang terbuat dari perak. Waktu itu aku juga menyaksikan ada sembahyang jemaat di Masjid. Lelaki berjenggot hitam berada pada saf terdepan; yang berjenggot putih berda di belakangnya, dan yang belum berjenggot di saf paling belakang. Ketika sembahyang selesai, salah seorang dari mereka melihatku di atas menara, katanya, "Mungkin elang itu kelaparan. Ayo kita sembelih seekor kambing dan kita berikan kepadanya." Mereka kemudian menyembelih seekor kambing, dan setelah aku makan, akupun terbang berlalu.

Seratus tahun kemudian, datang lagi musim dingin yang dahsat itu. Akupun terbang dan hinggap di sebuah menara masjid yang terbuat dari tembaga. Waktu itu pula sembahyang jemaat tengah berlangsung. Yang berada di saf terdepan adalah para lelaki yang tak berjenggot, dibelakangnya lelaki yang berjenggot hitam, dan terakhir paling belakang adalah para lelaki berjenggot putih. Ketika upacara selesai, salah seorang melihatku diatas menara, katanya lantang, "Lihat itu! Ada elang di atas menara. Ambil bedil! Kita tembak saja ia!" Maka berhamburlah orang-orang mengambil senjata. Menyadari bahaya itu, segera saja aku kabur menyelamatkan diriku yang kelaparan.

"Nah, kamu tentu tahu kesimpulannya. Kembalilah ke kerajaanmu dan terimalah kehendak Allah." Burung gagak itu mengakhiri kisahnya.

***

Kehidupan di dunia ini bergerak dari satu titik menuju titik yang lain, hingga sampai pada titik akhir. Sulaiman, melalui burung gagak, sebenarnya hendak berkisah kepada kita, perjalanan kita menuju titik akhir adalah perjalanan yang semakin sulit. Perjalanan yang membutuhkan lebih banyak mawas diri dan kehati-hatian.

Sudah terlalu banyak terjadi kekaburan orientasi, lenyapnya pegangan dan juga pondasi, serta hasrat diri yang tak memperhatikan lagi suara hati. Dari mana kita hidup, bagaimana kita hidup, dan untuk apa kita hidup, ternyata tidak lagi memperoleh jawaban dari nurani. Agama dan para ahli di dalamnya, semakin terbelakang dan terpinggirkan, digantikan maraknya kuasa teknologi yang tak berperasaan. Sementara rasa kemanusiaan, semakin tipis dan tersembunyi jauh di dalam bilik hati yang gelap.

Coba kita lihat sekeliling kita. Adakah tanda-tanda zaman itu masih akan kita ingkari. Banyaknya orang miskin yang diacuhkan. Seringnya sedekah dengan begitu banyak perhitungan, dan penghalalan begitu banyak cara untuk mencapai suatu tujuan. Dan apakah, masih ada tersisa di hati kita rasa kasih sayang dan kemanusiaan kepada sesama?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun