Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyatukan Narasi tentang PKI, Mungkinkah?

9 Mei 2020   01:07 Diperbarui: 4 Juni 2020   15:16 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasca menonton film dengan judul"Senyap" kemarin, Sabtu 10 Januari 2015, kami kemudian berdiskusi. Yang kami diskusikan bukan soal film tersebut, melainkan soal sejarah yang dikaburkan, soal fakta yang ditutupi, soal narasi yang ditunggalkan mengenai "peristiwa 1965". 

Lontaran pernyataan dan pertanyaan bersliweran, meski peristiwa tersebut sudah berumur 50 tahun yang lalu, toh pertanyaan dasar apa sebenarnya yang terjadi, tetap relevan untuk dilontarkan? Agak aneh memang. Ngapain saja selama ini, kok 50 tahun lebih berselang masih bertanya apa yang sebenarnya terjadi?

Peristiwa 65, bukannya tidak pernah dikaji, diteliti, diseminarkan, dibincangkan dan diselidiki, namun toh hasilnya tidak pernah melahirkan satu kesepakatan narasi sejarah yang tunggal. Negara yang mestinya paling otoritatif untuk menyelidiki, meski sudah melakukannya melalui komisi nasional hak asasi manusia, toh hasilnya tidak diamini oleh "negara" itu sendiri, sehingga tidak pernah ditindaklanjuti dengan langkah yang semestinya.

Pasca reformasi, ratusan buku diterbitkan hasil kajian dan riset berbagai pihak tentang peristiwa 65, puluhan film pendek yang "meyinggung" peristiwa tersebut juga sudah diproduksi. Namun fakta peristiwa tersebut tetap menjadi milik pribadi masing-masing pihak tanpa ada daya dipertemukan untuk disatu padu menjadi rumusan fakta yang "benar-benar" fakta. Jangan-jangan ilustrasi tiga orang buta yang bertengkar pasca mengidentifikasi sosok gajah sehingga menghasilkan kesimpulan berbeda-beda, menjadi kenyataan yang kita rasakan sekarang untuk peristiwa 65 tersebut. Masing-masing pihak, termasuk negara, merasa memiliki fakta yang paling sahih untuk dijadikan dasar keyakinan dalam menyusun latar belakang, proses dan ending kisah 65. Keyakinan yang begitu kuat sehingga keberadaan hasil narasi yang berbeda berarti keliru.

Apa yang bisa kita lakukan sebagai generasi ke sekian, yang secara langsung tidak merasakan peristiwa tersebut. Saya membayangkan ada upaya serius untuk melakukan kompilasi begitu banyak fersi dalam satu rangkuman tabel secara periodik dan per-sekmen peristiwa. Dimulai dari latar belakang, proses dan pasca peristiwa. Semua hasil kajian baik itu dilakukan resmi pemerintah, maupun NGO atau kelompok masyarakat lain dikumpulkan kemudian disandingkan untuk kemudian dilakukan lakukan klarifikasi silang untuk menyatukan data. Ini menjadi upaya verifikasi yang menyeluruh terhadap hasil kajian selama ini beserta dasar bukti yang ada.

Saya yakin hanya upaya demikian kita bisa melakukan penyegaran. Karena salah satu syarat pokok kajian ilmiah adalah dapat diferivikasi dengan metode yang serupa. Jangan-jangan, kegaduhan dan kesimpang siuran peristiwa 65 adalah masalah metodologis. 

Subjek penelitian yang berbeda, objek yang berbeda, saksi yang berbeda, wilayah yang berbeda, dan luas sampling yang tidak sama, jelas akan menghasilkan kesimpulan yang tidak seragam. 

Hal ini penting mengingat peristiwa 65 itu hampir terjadi merata di nusantara. Dan kita maklumi bersama bahwa dalam generalisasi ada satu lompatan dari sample objek untuk keseluruhan objek yang pada kenyataannya kadang tidak demikian adanya.

Namun itu harapan saya. Dan saya sendiri untuk melakukan itu semua jelas tidak memiliki SDM yang cukup. Maka yang dapat saya lakukan saat ini adalah mencoba untuk bersikap ilmiah. 

Kenyataan bahwa ada banyak hasil kajian yang bersebrangan dan kesaksian yang saling bersilangan, maka saya tetap akan menyatakan bahwa peristiwa 65 adalah benar pernah terjadi, sesuai dengan kajian telah dilakukan oleh mereka yang telah melakukan riset, baik itu negara atau NGO maupun masyarakat luas. Semua memiliki versi kebenaran yang mesti kita hormati sebagai hasil kerja ilmiah. 

Namun sikap saya jelas, tidak pernah dibenarkan melakukan pembunuhan massal tanpa pengadilan dengan alasan apapun. Apalagi sekedar motivasi kepentingan kekuasaan, karena jelas bahwa manusia itu lebih besar daripada segala thethek bengek kekuasaan itu. Dan negara sebagai institusi paling besar yang telah menerima amanah kontrak sosial masyarakat, wajib menuntaskan masalah tersebut. [Syarif_Enha, 2015]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun