Apa yang bisa dibaca oleh generasi mendatang jika tak ada jejak yang bisa terlacak. Akan bertahan berapa lamakah kenangan yang dipertahankan hanya dengan sebatas kisah-kisah yang diingat.Â
Monumen dan dokumen menjadi jajak yang memungkinkan semua catatan sejarah dapat ditelusuri ulang. Namun, itu hanya jejak, sejarah itu sendiri tidak mungkin terjadi berulang.
Ada diskusi kecil tentang kampus atau sekolah favorit atau unggulan. Banyak yang keblinger dan rela merogoh kocek begitu dalam hanya agar anaknya bisa diterima di sekolah atau kampus unggulan.Â
Padahal, tahukah mereka apa yang menjadi ukuran keunggulan itu? Kualitas suatu institusi saat ini ternyata lebih banyak diukur berdasarkan kelengkapan administrasi.
 Pendekatan ini bersifat kuantitatif. Ketika semua terpenuhi dengan catatan "ada", maka kualitas suatu institusi bisa dikatakan unggul. Namun, jika administrasi masih kurang lengkap, maka catatan buruk dan unqualified disandangkan pada institusi tersebut.
Model ini jika dipandang jauh dalam tataran teori, maka tampak adanya keilmuan eksak yang mendominasi alam pikir hampir semua pemegang kebijakan. Semua prestasi dan apresiasi diukur semata dengan banyaknya lembar berkas, lengkapnya semua fasilitas dan terpenuhinya semua agenda. Padahal, jelas yang diukur itu adalah kualitas.Â
Kenapa ukurannya adalah kuantitas? Namun, untuk bisa menentukan nilai dari sesuatu memanglah harus ada ukurannya. Catatannya, ukuran itu harus bisa diukur, sehingga pendekatan kuantitatif menjadi pilihan.
Dalam konteks yang lain, keluarga yang paling bahagia bukan diukur dari jumlah, baik jumlah anaknya, jumlah rumahnya, jumlah mobilnya, jumlah penghasilannya, melainkan diukur dari rasa batin para penghuninya.Â
Ukuran jumlah itu hanya pertanda yang digunakan sebagai alat baca orang dari luar, bukan bagian yang turut merasakan. Dalam rumah yang mewah dapat saja kita dengar suara tangis kesedihan, dan sebaliknya tidak jarang suara tawa kebahagiaan bergema di hunian sederhana. Segala yang tampak itu bisa dijadikan ukuran, namun tidak pernah mampu menampilkan substansi yang terdalam.
Pada kalangan santri, karisma seorang kiai sangat bisa dirasakan hanya dengan tatapan tajamnya, dari kalimat-kalimat yang keluar dari kedua bibirnya, bahkan suasanya pesantren seolah terterangi karomah dari karisma sang kiai begitu beliau hadir.Â
Tidak perlu sorban panjang, tidak perlu gamis megah, apalagi hanya persoalan kendaraan yang dinaiki. Namun, itu semua hanya bisa ditangkap oleh para santri, dan mungkin tidak semua santri bisa merasakannya.Â