Ada dua peristiwa besar dalam sejarah perkembangan Islam yang saya suka baca berulang-ulang, yaitu peristiwa Perang Badar dan peristiwa Fathu Makkah. Perang Badar pada tahun 2 Hijriyah adalah perang yang luar biasa. Ini adalah perang pertama pasca Hijrah. Perbandingan kekuatan antara umat Islam dan musuh tidak berimbang. Sekitar 300 melawan 1000-3000 tentara. Ini perbandingan yang tidak rasional dalam sebuah pertempuran terbuka.Â
Namun kuasa Tuhan bicara. Tentara muslim menang. Dengan demikian, wajar kemudian para tentara begitu gembira. Namun Nabi kemudian mengingatkan, bahwa Perang Badar sejatinya adalah perang kecil, dan Umat Islam harus siap menghadapi perang yang lebih besar, yakni perang melawan hawa nafsu.
Kemenangan ini menjadi salah satu tonggak sejarah pembuktian bahwa Islam didukung oleh kekuatan kebenaran. Banyak kabilah yang kemudian tertarik dan kemudian menjadi bagian dari warga muslim. Selain itu, banyak juga kabilah yang berasal dari Makkah berbondong-bondang masuk Islam. Ini tentu menghawatirkan kaum Kafir Quraisy.Â
Oleh karena itu, ketika Nabi hendak melaksanakan haji pada tahun 6 Hijriyah rombongan beliau dihadang, dan terjadilah Perjanjian Damai Hudaibiyah yang secara kasat mata merugikan. Salah satu klausulanya, setiap kabilah dari Quraisy Makkah yang hendak bergabung masuk Islam di Madinah harus dikembalikan ke Makkah, sementara yang lain bebas. Tentu ini merugikan Islam. Namun ternyata fakta bicara lain, banyak kabilah yang berasal dari luar Makkah yang dengan bebas bergabung, dan jadilah kekuatan Islam sangat kuat. Termasuk Suku Khuza'an juga bergabung.Â
Suku ini punya sejarah permusuhan dengan Suku Bakr yang bergabung dengan Kafir Quraisy Makkah. Suatu malam Suku Bakr di dukung Kafir Quraisy menyerang Suku Khuza'an. Dan berita ini ini didengar oleh Rasul. Kafir Quraisy telah melanggar perjanjian damai. Dan mereka harus diperangi.
Kafir Quraisy merasa khawatir pada pembalasan kaum Muslimin, karena mereka merasa salah telah melanggar perjanjian damai. Beberapa upaya untuk rekonsiliasi dilakukan namun tetan tidak berhasil. Pada tahun 8 Hijriyah, Rasulallah kemudian memutuskan untuk menaklukkan Kota Makkah setelah memiliki pasukan besar sekitar 10 ribu pasukan.Â
Begitu mendekati kota Makkah, pada malam harinya semua pasukan diminta untuk menyalakan obor. Maka gemparlah kaum Kafir Quraisy Makkah. Hawa ketakutan menyelimuti setiap penduduk. Tergambar bagaimana dulu mereka begitu kejam kebada Muhammad dan para pengikutnya. Ada yang sekedar dicaci maki, dikucilkan, disiksa, sampai ada yang dibunuh. Kini Muhammad datang dengan pasukan yang sangat besar, yang tidak mungkin dilawan.
Keesokan harinya, pasukan Islam masuk kota makkah melalui lima penjuru. Dan Rosulullah berseru. Siapa saja yang masuk rumah Abu Sufyan, maka dia aman. Siapa yang masuk Masjidil Haram, dia aman. Dan barang siapa yang masuk rumahnya masing-masing, menutup pintu dan jendelanya, maka ia aman. Tidak ada pembantaian. Ini adalah hari kasih sayang (yaumul marhamah).
Peristiwa ini adalah peristiwa yang luar biasa. Bahwa Rosul dan pasukannya berhasil menaklukkan kota Makkah tidak terbantahkan. Namun yang luar biasa adalah keluasan hati Beliau dan ummat Islam untu memberikan maaf dan melangsungkan perdamaian. Inilah kemenangan yang sejati.Â
Bukan saja menang secara fisik, namun Nabi dan pasukannya telah berhasil menang melawan kehendak nafsu membalas dendam, mengadili dengan setimpal yang berarti adalah menumpahkan darah. Semangat ini yang harus selalu dihadirkan dalam perilaku hidup kita. Menang itu bukan menguasi, menang bukan berarti sewenang-wenang, menang itu adalah kemampuan untuk menampung, memangku siapapun dan keadaan apapun. Kemenangan sejati, memenangkan diri sendiri. [Syarif_Enha@Nitikan, 24 Juni 2017]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H