Mohon tunggu...
Syarifuddin Mandegar
Syarifuddin Mandegar Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara -

bergabung untuk informasi sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Silariang (Kawin Lari); Antara Cinta dan Restu

22 Februari 2017   20:48 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:29 1719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini tidak cukup untuk mewakili seluruh makna tentang Silariang serta hakikat pernikahan atas dasar cinta. 

Tulisan ini hanyalah bagian kecil dari luasnya pustaka Risalah Cinta dan Pernikahan 

Panulis : Syarifuddin Mandegar (22/02/2017). Silariang atau kawin lari tidak hanya dikenal dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan baik bugis, makassar, Mandar maupun Toraja begitupun juga dengan masyarakat lainnya di Indonesia. Namun Silariang adalah bahasa bugis yang memiliki arti kawin lari dalam terminologi bahasa Indonesia.  Perilaku Silariang atau Kawin Lari sudah lazim terjadi dikenal di berbagai suku dan etnis yang di Indonesia. Namun yang membedakan tergantung sanksi adat masing-masing suku. Tentu saja Penulis tidak akan membincangkan gramatical Silariang melainkan memaknai kata silariang dalam terminologi umum yakni Kawin Lari.

Terlepas dari histori Silariang atau (kawin lari) dimana Silariang akan selalu bersinggungan dengan budaya dan adat istiadat setiap suku. Nilai-nilai budaya pada suku manapun di Negeri ini akan selalu menukik kedalam identitas pernikahan kapan dan dimanapun dilangsungkan. Pada suku Bugis-Makassar tradisi Uang Panai telah menjadi bagian integral untuk melangsungkan pernikahan kedua insan yang saling mencintai, namun akibat Uang Panai terkadang berujung pada jalan pintas yakni Silariang (kawin lari). 

Mahalnya Uang Panai mungkin bisa ditawar tapi hubungan asmara kedua insan yang telah berikrar dalam ikatan cintanya untuk membina rumah tangga atas legitimasi suci dari Pernikahan juga tak kalah pentingnya.  Namun terkadang Jalinan kasih itu harus menelan pil pahit akibat restu kedua orang tua yang mereka harapkan tidak terijabah hanya karna perbedaan kasta atau status sosial disertai uang panai melambung tinggi. Akibatnya,  mimpi-mimpi akan ikatan rumah tangga yang indah  harus sirna oleh ditangan sang pemberi restu. Perempuan mana yang sanggup berkutik saat diperhadapkan pada dua pilihan antara kehormatan orang tua dengan mempertahankan serangkaian cintanya...? lantas, Apakah Silariang harus menjadi keputusan akhir sebagai jawaban atas asa cinta yang tidak direstui..? sementara silariang dimata masyarakat adalah aib sosial yang akan menjatuhkan martabat serta kehormatan tidak hanya laki-laki dan perempuan namun kohormatan keluarga pun ikut ternodai.   

Melegitimasi ikatan pernikahan dengan cara Silariang (kawin Lari) dengan dalih cinta memang bukanlah perilaku yang patut diacungi jempol tetapi pada sisi lain, jalinan kabatinan kedua insan atas dasar cinta adalah satu hal yang tidak bisa dipandang remah sebab manusia pada hakikatnya memiliki fitrah untuk saling mencintai. Bukankah penyebab Silariang (kawin) itu tidak semata-mata karena perempuan yang dicintai itu hamil sebelum menikah sehingga untuk menutupi aibnya memaksa laki-laki untuk nekat melakukan kawin lari. 

Pada aspek lain, Silariang juga kadang disebabkan karena orang tua baik laki-laki maupun perempuan misalnya perempuannya dari keturunan bangsawan, berasal dari keluarga terpandang, anak seroang pejabat sementara keluarga laki-laki hanya dari keluarga yang strata sosialnya tidak lain hanya sebagai hamba Allah di muka bumi tidak lebih dari itu, sehingga faktor itu pula salah satu penyebab Silariang, apatah lagi  Uang Panai terbilang cukup mahal dengan dalih gengsi sosial.    

Lantas siapa yang salah atas semua itu...?

bukan soal siapa yang salah sebab seburuk apapun perbuatan seorang anak, kedua orang tuanya tidak akan tega membiarkan anaknya terlantar. Bukankah kata maaf selalu menjadi kesimpulan akhir atas penyesalan setiap episode perbuatan salah yang dilakukan oleh anak..? Permohonan maaf memang tidak semudah untuk menghapus jejak Silariang (kawin lari)  di mata keluarga dan masyarakat tetapi ada baiknya mengembalikan keharmonisan  keluarga kepada titahnya yang sebenarnya yakni pernikahan yang tidak ternodai oleh Silariang. 

Karena itulah dalam budaya masyarakat bugis-makassar dimana jejak-jejak Silariang (kawin lari) selalu mengakhiri episodenya dalam sebuah musyawarah besar antara keluarga laki-laki dengan keluarga perempuan dikenal dengan kata Abbaji, yakni sebuah usaha kedua kubu keluarga untuk menempuh jalan damai. Abbaji dipadang sebagai jalan tengah untuk meredam kebencian dan amarah keluarga terhadap pelaku Silariang dengan membayar mahal  kebencian dan amarah mereka dengan saling menghormati, saling menyayangi antar keluarga termasuk bagi kedua insan yang silariang. Bahkan tidak sedikit dari rumah tangga hasil silariang yang hidup rukun dan bahagia dalam mengarungi bahtera rumah tangganya.

Aib tetaplah aib tapi bukan berarti aib orang Silariang selalu menjadi catatan buruk sepanjang hidup pelaku silariang hingga menutup jalan bagi mereka untuk memulai kehidupan baru setelah menempuh jalan Abbaji. Cukuplah Silariang menjadi catatan buruk bagi semua orang untuk tidak terjatuh pada lubang yang sama karena melanggar adat dan budaya atas aibnya Silariang bukan karena pandangan kita atas budaya itu bertentangan dengan nilai akademik budaya yang kita pahami tetapi bertoleransi atas pelarangan masyarakat terhadap perilaku Silariang tidak akan menjatuhkan prestasi akademik kita. Artinya menundukkan ego itu juga bagian dari kearifan dalam berpengetahuan dimana orang-orang yang bepengetahuan pada dirinya tercermin budaya kearifan dan kebijaksanaan.

Berbagai faktor yang mengakibatkan terjadinya Silariang entah karena hamil duluan atau gengsi-gengsi sosial sudah saatnya dipisahkan dari hakikat cinta. hamil duluan sebelum nikah adalah perbuatan hina apapun alasannya. Dimata kedua orang tua juga dimata masyarakat  tetap akan menjadi catatan buruk sepanjang hidupnya kedua insan dan tidak ada jalan yang terbaik kecuali bertobat dihadapan Allah atas perbuatan itu. Bahwa sanksi sosial atas perilaku itu mungkin ada batasnya tetapi dimata Allah tidak ada jalan lain kecuali kecuali bertobat. Kita tidak akan mungkin mengulang episode perbuatan yang telah terjadi dan menggantinya dengan episode lain. Apa yang telah terjadi tetaplah tercatat dalam sebagai perbuatan yang hina.

Soal gengsi demi menjaga kehormatan strata sosial tidak dapat dijadikan indikator dalam pernikahan sebab pernikahan tidak memandang berapa banyak harta kekayaan kita, sebarapa tinggi dan rendahnya strata sosial kita sandang sebab terjadinya sebuah pernikahan bukan atas legalitas jabatan, harta maupun status sosial melainkan atas dasar cinta kedua insan yang terlembagakan dalam bentuk pernikahan. Faktor-fakto itulah yang mengakibatkan Silariang selalu menempati ruang untuk dilegalkan atas dalih cinta.

Kejumudan atas apa yang melakat pada diri manusia dapat menjatuhkan kehormatan diri manusia itu sendiri, begitupun kesalah pahaman terhadap hakikat cinta dan pernikahan akan merubah yang suci menjadi aib dimata masyarakat terlebih dihapadan Tuhan. Maha benar Allah atas segala Firman-Nya.

---Wassalam----

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun