Keadilan ialah salah satu manifestasi kesempurnaan yang dicintai manusia. Setiap manusia, secara naluri bawaan, mencintai keadilan. Sebaliknya, setiap manusia tidak menyukai ketidakadilan. Pada prakteknya, naluri itu dikalahkan dengan dominasi nafsu hewani yang tak jarang menguasai manusia. Sedemikian sehingga, cara pandangnya dan tindakannya menjauhkan dari apa yang dicintainya; keadilan. Kedua, setiap orang dengan dasar dan cara berfikir yang berbeda, menimbulkan perbedaan dalam memaknai keadilan. Dalam perbedaan tentu ada yang saling mendukung, namun tidak dipungkiri ada yang saling menafikan (kontradiktif).
Sebagian berpendapat bahwa keadilan itu sama dengan persamaan. Tidak dikatakan adil, jika sang Bos memberi anak buahnya si Hasan senilai lima perak dan si Husain sepuluh perak. Sebagian lagi menolak persamaan sepadan dengan keadilan. Baginya, atas dasar apa Hasan dan Husain menerima pemeberian uang? Jika atas dasar keinginan si Ayah sang pemiliki uang, maka belum saatnya membahas keadilan. Alih-alih menutut keadilan, sang anak buah seharusnya berterima kasih kepada si Bos berapapun nilai yang diberikan. Namun jika pemberian atas dasar pekerjaan, apakah keduanya memiliki pekerjaan dengan bobot dan waktu yang sama? Jika pekerjaan si Husain lebih berat dan berisiko dibanding Hasan, adalah adil bagi si Bos membedakan nilai pemberian. Tentunya pertimbangan lain tidak tertutup kemungkinan. Pada kasus seperti ini, persamaan bahkan bisa menjadi ketidakadilan alias dzalim.
Penempatan atau pemberian sesuatu sesuai dengan kapasitas dan porsinya. Demikian mungkin defenisi keadilan yang sementara digunakan dalam tulisan sederhana ini. Untuk pembahasan terperinci dan lebih dalam tentang keadilan, sebaiknya merujuk ke referensi yang lebih otoritatif seperti buku ‘Keadilan Ilahi’ karya Muthahhari dll. Kata kunci yang penting dalam defenisi sebelumnya ialah sesuai atau kesesuaian. Anak laki-laki dan anak perempuan tidak mungkin disikapi sama atau diberikan sesuatu yang sama pula. Menyikapi dengan adil, berarti mempertimbangkan kapasistasnya sebagai anak laki-laki yang lebih sesuai diberikan pakaian laki-laki dibanding diberi (apalagi dipaksa untuk memakai) rok mini. Anak perempuan, secara naluri, tidak perlu marah atau cemburu dengan pakaian yang diberikan pada anak laki-laki yang tidak sama dengan pakaian yang didapatnya. Lain soal jika kecemburuan karena masalah harga atau kualitas.
Karena dasar keadilan ialah pengetahuan atas kapasitas sesuatu, maka semakin tinggi pengetahuan semakin mendukung seseorang untuk bertindak adil. Lalu apa yang terjadi jika seseorang meyakini Sesuatu Yang Maha Tahu atau yang biasa disebut Tuhan? Jika orang itu meyakini dengan tulus, sikapnya akan tunduk pada keyakinannya. Artinya, apapun yang diberikan oleh Tuhan pasti adil. Wah, sepertinya ini akan bernostalgia dengan perdebatan sengit lintas mazhab kalam (Mu’tazilah, Asy’ariah, dsb) yang tidak sedikit menumpahkan darah umat. Untuk menghindari tenggelam dalam perbedatan teologis itu, kiranya perlu didudukkan antara ‘tasyri’i’ dan ‘takwini’.
Istilah yang pertama merujuk pada makna syariat atau undang-undang yang telah ditetapkan oleh Tuhan untuk manusia melalui para nabi atau utusan-Nya. Peraturan ini disampaikan oleh para juru bicaraNya di setiap zaman agar manusia mencapai tujuannya. Istilah kedua merujuk pada makna alami sebagai sistem yang juga telah ditetapkan oleh Tuhan. Sistem ini juga mendukung pencapaian manusia pada tujuannya. Di antara perbedaanya ialah, yang pertama bisa dilanggar dan dipatuhan sedangkan yang kedua, karena bersifat bawaan, maka tidak ada pilihan. Yang pertama atas dasar kemerdekaan manusia dan kedua; determinan. Shalat, puasa, sedekah di antara contoh yang pertama dan lapar, hukum grafitasi, menjadi bayi, anak, remaja, tua dst adalah di antara contoh yang kedua. Jika yang pertama - karena berdasarkan kemerdakaan untuk memilih -, dituntut pertanggungjawaban maka yang kedua bebas dari pertanggungjawaban.
Yang tidak kalah mendapat sorotan ialah dalam wilayah takwini. Seperti, jika Tuhan adil mengapa banyak yang terlahir dalam keadaan cacat? Mengapa anak ini terlahir dalam keluarga yang bejat dan anak itu dalam keluarga yang baik dan welas asih? Mengapa harus ada anak yang tak berdosa menjadi korban gempa bumi yang dahsyat? Dan seterusnya yang menunjukkan sang anak atau bayi tidak memiliki pilihan kecuali atas dominasi ketetapan-Nya. Jika dihubungkan dengan keadilan Tuhan, menjawab pertanyaan seperti ini memerlukan pembahasan satu atau bahkan berjilid-jilid buku. Dan oleh sebab itu, sekali lagi, sebaiknya merujuk pada buku yang lebih otoritatif tentang Keadilan Ilahi.
Tulisan sederhana ini sebenarnya hanya ingin “melompat” pada orang-orang yang telah beriman dengan Sesuatu Yang Maha Sempurna. Mereka menyebut Yang Sempurna itu sebagai Tuhan. Konsekuensinya, mereka juga yakin dengan sifat dan perbuatan sang Tuhan yang pasti sempurna. Di antara bentuk kesempurnaan tindakan ialah adil. Sebagaimana defenisi sebelumnya, adil berarti Tuhan menganugrahkan hambaNya sesuai dengan kapasitas dan porsi usaha dan pencapaiannya. Karena Tuhan yang menciptakan laki-laki dan perempuan, Dia pula yang paling tahu dengan kedua jenis manusia itu. Atas dasar pengetahuannya itu, Dia menetapkan hukum tasyri’i yang berbeda dan tentu sesuai dengan masing-masing jenis. Perintah berjilbab yang hanya ditujukan pada perempuan mukmin yang baligh dan bukan pada laki-laki, merupakan bagian dari keadilan Ilahi. Demikian pula, laki-laki mukmin tidak perlu cemburu pada perempuan yang boleh (bahkan wajib) meninggalkan shalat karena haid. Semua perbedaan ketetapan yang adil itu, demi membantu manusia menyempurna, sesuai dengan tujuannya.
Apa sebenarnya tujuan manusia itu? kesempurnaan, lepas dari perbedaan jawaban atas apa itu kesempurnaan. Apakah kesempurnaan itu hanya bisa didapatkan pada sebatas materi atau apa yang bisa dipersespi oleh panca indra? Tidak, kata filsuf Islam yang telah mengkiritik pandangan dunia materialisme. Di sini sudah memunculkan perbedaan pendapat yang bisa diuji secara objektif. Jika bersandar pada para filsuf Islam, keadilan Ilahi tidak bisa dinilai hanya sebatas ukuran material yang serba parsial itu. Keadilan ilahi tidak bisa dinilai sebatas hanya melihat cacat fisik seorang bayi yang baru lahir. Atau penilaian hanya bersandar pada fenomena terbunuhnya manusia suci pilihan Tuhan oleh penguasa dzalim di medan tempur. Lalu bagaimana menilainya? Untuk mengkaji jawabanya, sepertinya harus merujuk ke buku-buku atau ulama yang lebih otoritatif lagi.
Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tidak hanya dengki dengan apa yang telah dicapai secara tasyri’i oleh orang lain tapi juga dengan apa yang telah diberikan secara takwini oleh Tuhan. Sebagian buku Akhlak mengartikan dengki (hasad) sebagai keadaan jiwa yang tidak suka atas kelebihan yang dimiliki orang lain. Satu contoh yang jika fenomena ini sulit didapatkan di lingkungan sekitar, sebaiknya menonton sinetron-sinetron Indonesia. Contohnya, seorang perempuan yang dengki dengan temannya yang lebih cantik dan disukai oleh banyak laki-laki. Karena dengki menguasai dirinya, ia ingin sekali melihat kecantikan hilang atau bahkan hilang bersama orangnya. Akibat dengki ini memang sangat berbahaya, dan ini bisa ditelusuri di koran-koran rubrik kriminal.
Namun, jika kasus ini dibawa ke buletin Filsafat, pertanyaan yang muncul adalah apakah setiap ‘kelebihan takwini’ itu secara otomatis mendapat kelebihan (keistimewaan) menuju kesempurnaan? Tidak, menurut sebagian ulama dan filsuf. Kecantikan, kekayaan, bahkan kelebihan berupa pengetahuan sekalipun tidak menjamin mengantarkan seseorang menuju kesempurnaan. Bahkan sebaliknya, semua itu bisa mengantarkan seseorang menjauh dari kesempurnaan dan jatuh pada jurang kesengsaraan yang hakiki dan abadi. Tapi mengapa ada yang dengki dengan pemberian yang bahkan tanpa pencapaian Jika dihubungkan dengan padangan dunia Ilahi, sikap dengki seorang manusia merupakan manifestasi dari kejahilan atau ketidakpercayaan pada keadilan Ilahi yang sempurna dan mencakup keseluruhan alam, baik yang fisik maupun metafisik. Sebagian orang tidak suka dengan apa yang dibagi oleh Tuhan pada hamba-hambanya. Hati mereka meradang kesakitan dengan segala ‘takdir’ yang ditetapan pada orang lain, tanpa mau menyelam atau bahkan melirik pada samudra Makrifatullah yang melampaui batas-batas ruang, waktu dan pengetahuan indrawi.
Dusun Nganti 18 Oktober 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H