Ilmu, menurut Mudzaffar dalam kitabnya ‘Mantiq’, adalah hadirnya gambaran (konsep) sesuatu pada benak (akal). Sebagaimana termaktub dalam Alqur’an, Mudzaffar sepakat bahwa manusia terlahir dalam keadaan tidak mengatahui (memiliki ilmu) secara aktual. Dengan panca indranya, manusia berintraksi dengan lingkungannya dan menghadirkan pengetahuan indrawi. Kehadiran pengetahuan di benaknya dari apa yang dilihat, didengar, diraba dst menjadikan ia berpengetahuan secara aktual. Disebut aktual, karena manusia memiliki kesiapan (potensi) menerima pengetahuan. Kesiapan itu berupa anugrah (pemberian gratis) seperti panca indra, rasa ingin tahu, dan benak yang (mungkin) mampu menampung unlimited data.
Benak, sementara katakanlah demikian, yang menampung data indrawi juga dianugrahi fasilitas yang fantastis. Dengan fasilitas itu, data indrawi dapat digabungkan, dibandingkan atau dibagi. Fasilitas ini disebut ilmu khayal. Dengannya, seseorang mampu menghadirkan dibenaknya gambaran Benyamin Netanyahu (PM Israel) yang sedang membakar bendara Amerika di depan Gedung Putih. Sebuah pemandangan yang bahkan indra manusia manapun (mungkin) belum pernah melihatnya. Benak pun dapat menghadirkan gambaran sebuah kota metropolitan di Saudi dan kota ‘berantakan’ di salah satu wilayah Palestina, lalu dihubungkan yang mengsilkan perbandingan; ini lebih besar dari itu, ini lebih miskin dari itu dst.
Tidak berhenti sampai di situ, benak manusia ternyata mampu menarik (tajrid) saripati makna yang terkandung dalam setiap gambaran indrawi maupun khayal. Jika gambaran yang dihasilkan indra dan khayal masih berupa gambaran yang memiliki karakteristik material (warna, bentuk dll), pada tahap ini karakteristik itu tidak ada lagi. Tahap ini disebut dengan ilmu wahm, yang menurut Mudzaffar, merupakan garis pemisah antara manusia dan hewan. Pada wilayah ini, manusia mampu memahami cinta, patah hati, derita, kebahagiaan, keindahan dst. Dan terakhir, adalah ilmu rasional atau alam ke-berpikir-an. Fasilitas benak yang satu inilah yang menjadikan seseorang menemukan (esensi) kemanusiaannya.
Secara umum, apa yang dikatakan ilmu, konsep, tasawwur, gambaran, pengetahuan, adalah satu makna dalam beragam kata. Semuanya (untuk sementara) diartikan sebagai hadirnya gambaran sesuatu pada benak. Kehadiran ilmu di benak itu ada yang semata-mata ilmu atau gambaran dan adapula ilmu yang diikuti oleh keyakinan tentang kebenaran ilmu. Kebenaran yang dimaksud ialah kesesuaian ilmu atau gambaran di benak dengan realitasnya. Keduanya sama-sama tergolong ilmu, namun yang pertama mutlak (tidak terikat) dan yang kedua ilmu disertai keyakinana atau pembenaran. Ilmu Mantiq kerab menamkan yang pertama sebagai tashawwur (konsepsi) dan kedua sebagai tasdhiqi (pembenaran).
Jika tashawwur itu diraih dari indra hingga akal (alam rasional), lalu di alam manakah letak tasdhiqi itu? Ternyata, tasdhiqi menurut Mudzaffar, bukan semata-mata pembenaran keputusan tapi juga ketundukan pada keputusan itu. Secara bahasa, tunduk berarti taat atau patuh dan ketaatan identik dengan kesetiaan. Adapun arti setia adalah berpegang teguh pada pendirian atau prinsip. Dan keteguhan adalah prihal ketetapan hati atau iman.
Sebagian pengkaji filsafat memang memandang bahwa tashdiqi itu ada di hati. Apalagi jika tashdiqi yang dimaksud ialah menerima kebenaran dengan tulus. Dalam sebagian kajian teologi juga dikatakan bahwa iman yang mengkritstal hati itu merupakan perpaduan antara pencapaian akal (ilmu), cinta dan amal (perbuatan).
Mungkin banyak yang menghindari ‘hati’ sebagai sandaran tashdiqi disebabkan oleh ketidakstabilannya. Hati dalam bahasa arab disebut ‘qalb’ berarti berbolak-balik. Dalam Epistemologi, hati kadang dikatakan sebagai alat pengetahuan (perasa) atau sumber pengetahuan sebagaimana diyakini oleh para sufi. Bersandar pada perasaan jelas merupakan tasdhiqi yang rapuh. Ini bisa disurvei pada pemuda dan pemudi yang pernah dengan penuh kesadaran memutuskan pacarnya.
Menyandarkan tashdiqi pada perasaan (yang berbolak balik itu) tidak jauh dangkalnya dengan bersadar pada apa yang dihasilkan oleh indra.
Jika demikian, lalu apa yang dimaksud hati sebagai sumber pengetahuan? Jika yang dimaksud dengan sumber pengetahuan tentang keindahan, kesempurnaan, keselarasan, kebahagiaan lalu apa bedanya dengan ‘waham’? Okey, anggap saja keduanya sama dengan istilah atau nama yang berbeda. Namun, jika hati sebagai sumber pengetahuan merupakan khas epistemologi sufistik, bukankah menyamakan dengan waham berarti menggugurkan kekhasan epistemologi para sufi itu?
Mungkin, apa yang dimaksud sumber pengetahuan bagi sufi berbeda dengan waham yang derajatnya dibawah akal. Jika asumsi ini benar adanya, ada secercah cahaya terang untuk bahwa tashdiqi itu adanya di hati. Jika dikembalikan pada defenisi sebelumnya, bukankah tashdiqi juga ilmu? Jika defenisi ini diterima, maka ilmu yang diikuti dengan keyakinan ini bersumber di hati. Darimana asalnya? Pertanyaan ini tidak lebih sulit dari pertanyaan “darimana asal fasilitas indra, khayal, waham dan akal?”
Menurut sebagian kaum sufi, semakin hati dibersihkan semakin jelas ilmu yang diikuti oleh keyakinan ini. Ibarat kaca jendela kamar yang semakin dibersihkan, semakin banyak cahaya matahari yang masuk. Semakin banyak cahaya, semakin teranglah kamar itu. Kebenaran yang ingin dicapai oleh ilmu itu bagaikan cahaya matahari itu. Semakin terang cahaya, semakin jelas mata memandang, dan semakin tenang pula kaki untuk melangkah. Pertanyaanya, jika cahaya itu dari matahari, lalu darimanakah kebenaran itu? Sedemikian nyata dan objektifnya, sehingga ia hanya perlu diterima, diyakini dan kalau mampu lagi ditaati sebagaimana Mudzaffar mengartikan ‘tashdiqi’.
Ilmu tashdiqi yang sempurna tentu berasal dari yang sempurna juga. Dalam pengejawantahannya, ilmu bisa berbentuk tindakan lahiriah dan kata-kata atau bahasa. Kata mewakili makna dan sebagian makna merepresentasikan realitas. Semakin luas realitas yang dipahami, semakin luas pula makna yang diserap. Luasnya makna yang diserap mengkondisikan seseorang menerima kebenaran atau memutuskan perkara dengan bijak. Semakin bijak memutuskan perkara semakin membuka peluang seseorang untuk dapat berbicara dengan bijak pula. Baik dalam hal apa yang seharusnya dibicarakan, kepada siapa selayaknya dibicarakan, kapan semestinya dibicarakan, dimana, bagaimana dan mengapa kata-kata itu yang harus dilontarkan. Mengutip sebuah hadist nabi, para sufi percaya bahwa orang yang selama 40 hari mensucikan hatinya demi mendekatkan diri pada Tuhan, tidak akan keluar dari lisannya kecuali kata-kata yang mengandung hikmah (kebijaksanaan). Tentunya, mengenal diri dan Tuhan serta mengetahui metode penyucian diri, tidak kalah penting sebelum mengamalkannya.
Dusun Nganti, 11 Oktober 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H