Mohon tunggu...
Syarifuddin Hemma
Syarifuddin Hemma Mohon Tunggu... wiraswasta -

Sebatas yang saya pahami tentang asal muasal, dinamika dan tujuan hidup ini

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ilmu dan Tujuannya

12 Juli 2015   22:26 Diperbarui: 12 Juli 2015   22:26 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sewaktu bermasalah di bangku kuliah, saya beralih ke perpustakaan daerah jika rindu dengan tambahan wawasan.* Perpusda Jogja relatif besar meskipun bangunan dan suasananya sewaktu itu terkesan kuno. Terdiri dari dua lantai ditambah bangunan belakang yang berisikan koleksi buku-buku jadul atau bahkan naskah kuno. Suasana tenang, tempat membacanya nyaman, meskipun terkadang beberapa pegawainya sibuk main game di depan monitor hingga “suara peperangan” mengeruhkan suasana. Di salah satu sudut perpus sebelah barat lantai dua ada ruang buku koleksi yang tidak bisa dipinjam. Ruang ini menjadi tempat favorit saya karena koleksinya serba mahal, tebal dan berjilid-jilid. Jika di Gramedia saya harus berdiri lama untuk membaca buku semahal dan setebal itu, tapi di ruang itu saya bisa menikmatinya dengan posisi nyaman sambil sesekali break ke kantin perpus.

Jika di bangku kuliah saya disibukkan dengan buku-buku yang “anjuran” dosen, maka di perpus itu saya memilih sesuka hati. Karena sesuka hati bahkan tidak lebih dari itu, lama-lama jadi bosan juga. Tidak ada tujuan membaca selain hanya mencapai kelezatan bertambah luasnya wawasan. Lalu untuk apa wawasan itu ditambah? Kadang saya mendapatkan buku untuk memotivasi hidup yang galau dengan masalah tertentu tapi ketika itu telah terlewati lalu apa lagi? Yang paling memotivasi membaca buku waktu itu ialah ketika saya masuk dalam dunia gerakan mahasiswa. Melihat para senior berbicara dengan retoris dalam diskusi, debat, dan pidato rasa-rasanya saya juga ingin seperti mereka. Keren, intelek, cerdas dst…demikian kesan saya pada mereka. Sehingga banyak baca buku dan koran itu sangat penting loh.

Dan akhirnya saya pun merasakan menjadi senior, pemateri, penceramah bahkan pengisi pengajian ibu-ibu. Semuanya menuntut untuk banyak membaca. Dengan membaca, wawasan bertambah. Semakin banyak wawasan semakin banyak stok materi untuk disampaikan ke orang lain. Lalu jika telah disampaikan ke orang lain, lalu apa lagi yang dicari? Terkadang saya berpikir bagaimana supaya para pendengar itu tahu bahwa saya ini banyak baca, cerdas, intelek dll sebagaimana motif saya baca buku selama ini. Ujung-ujungnya, belajar itu untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain dalam bentuk apapun. Jika tujuannya ini, maka sama saja dengan meminum air laut untuk menghilangkan haus.

Dalam gonjang-ganjing suasana batin itu, saya mencari apa sebenarnya tujuan mendasar dari semua ini. Problem ini memang tidak mudah apalagi watak yang selalu ingin disanjung, dihargai, dikenal banyak orang dst telah menjadi ruh yang mengakar dalam diri. Di sini kadang saya merasa sedih. Setelah mengotak-atik lagi hidup ini, ternyata tujuan hidup manusia itu memang benar-benar nyata. Diakui ataupun tidak, tujuan penciptaan manusia itu ada. Meskipun itu sangat jauh dari jiwa yang gelap seperti saya tapi sangat jelas bagi yang masih waras. Untuk mencapainya, setiap manusia seharusnya menggunakan setiap daya yang dia miliki termasuk fakultas pengetahuannya. Rasa ingin tahu, membaca buku, diskusi, perenungan dst seharusnya dikelola dengan benar untuk mencapai tujuan yang hakiki itu.

Di sini, perubahan (hakiki) bukan lagi bertambahnya uang, bertambahnya jadwal ceramah, bertambahnya jumlah orang yang mengenal kita dst. Namun perubahan yang mendasar ialah semakin dekatnya kita dengan tujuan hakiki dari hidup ini. Dalam dunia tasawuf, hal ini dikenal dengan nama suluk atau safar. Musafir atau pesuluk ialah orang yang berjalan dengan membawa bekal yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Nabi Isa pernah bersabda bahwa bekal yang tidak berguna hanya akan menjadi beban dalam perjalanan. Ilmu ialah salah satu bekal yang penting dalam mencapai tujuan. Hampir setiap ilmu itu penting dan bernilai positif tapi apakah setiap yang penting itu menjadi urgen, berhubung usia manusia yang cukup singkat?

Setiap manusia menginginkan yang paling terbaik. Jika ada sesuatu yang paling sempurna, maka kesanalah manusia ingin berlabuh. Musafir yang bijak ialah yang mengenal tujuannya. Dalam hal ini pengetahuan tentang Tuhan (Ma’rifatullah) menjadi urgen. Setelah itu, sang Musafir mencari hubungan antara tujuan dan dirinya yang ingin mengadakan perjalanan. Pada tahap ini, sang musafir menentukan jalan yang benar dan yang terbaik. Dalam filsafat Islam, pengetahuan tentang bersikap yang benar dan yang baik juga dibahas dalam filsafat akhlak. Dalam teologi, akhlak sangat relevan dalam perjalanannya sebagai akibat dari Ma’rifatullah.

Tentunya dalam kehidupan yang kompleks ini, setiap manusia menghadapi problem dalam dirinya, keluarga, sosial, ekonomi, dst. Di sisi lain, pengetahuan manusia sangat terbatas untuk meniti jalan yang benar. Karena itulah, Tuhan Yang Maha Bijak menurunkan wahyu berupa hukum-hukum untuk memperjelas apa yang kabur bagi manusia. Hukum-hukum ini dikenal dengan nama syariat atau fikih. Teologi dengan segala derivasinya, akhlak dengan segala cakupannya dan syariat, merupakan pengetahuan yang paling urgen bagi setiap manusia. Mengutip istilah bang Haidar Bagir dalam sebuah seminar pendidikan, ketiganya itu adalah fardhu ‘ain (wajib bagi tiap orang) dan selain itu (kedokteran, kelistrikan, perbankan dll) adalah fardhu kifayah (jika dalam suatu masyarakat, sebagian orang menguasainya maka sebagian lainnya tidak lagi wajib)  

 

Ketiganya berbeda tapi tidak bisa dipisahkan. Oleh sebab itu, saya pribadi tidak sependapat dengan orang-orang yang hanya berteriak dengan slogan “syariat” tapi minus ruh pandangan dunia Islam.  Ditambah lagi,  sebagian orang menggunakan ilmu tidak untuk menerbangkan dirinya lebih dekat pada tujuan penciptaanya.  Tapi  lebih sibuk menimba ilmu hanya untuk disave dalam memori lalu ditumpahkan ke orang lain tanpa membekas sedikit pun pada dirinya. Padahal tujuan ilmu, dalam konteks yang saya pahami, ialah transformasi diri menuju kesempurnaan. Tentunya kesempurnaan kemanusiaan dalam dimensi karakter, sifat maupun akhlak  yang belum optimal selama ini. Jika dihubungkan dengan tujuan kenabian, Muhammad Saw pernah bersabda, “saya tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak mulia”. Adapun pencerahan hingga transformasi masyarakat ialah akibat yang tidak terhindarkan dari transformasi diri melelaui pengetahuan, khususnya pengetahuan “fardhu ‘ain” 

*Dalam tulisan ini, kata; wawasan, pengetahuan dan ilmu memiliki makna yang sama. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun