Tetapi kecuali Pancasila adalah satu Weltanschaung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Maerauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Panscasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakikatnya satu alat mempersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakit terutama sekali, Imperliasme. (Soekarno, 1958, I: 3)
Dalam buku Negara Paripurna (Yudi Latif, 2011), dikatakan Soekarno kerap menggunakan kiasan “menggali” dalam merumuskan Pancasila. Aktivitas “menggali” melibatkan bumi dan tubuh; Pancasila lahir dari jerih payah sejarah, dan-seperti halnya hasil bumi- menawarkan sesuatu yang tetap bisa diolah lebih lanjut. Kenyataanya, pasca kemerdekaan bangsa ini dari para penjajah, Pancasila benar-benar dituntut untuk diaktualkan secara nyata di bumi pertiwi ini.
Di era globalisasi ini, mematikan semangat juang pemuda tidak lagi dengan gertakan meriam, namun dengan serbuan informasi dan budaya asing yang bersifat merusak untuk sekedar mencabut mereka dari akar sejarah, budaya, pandangan dunia hingga ideologinya. Kurang lebih 32 tahun pada masa ode baru, Pancasila berhasil digeser dari dasar pilar-pilar kekuatan bangsa menjadi dasar penguasa otoriter. Dampaknya, setelah reformasi, Pancasila hingga kini berada di titik nadir untuk tidak dikatakan hanya tinggal nama. Eskalasi konflik sosial khususnya atas nama agama mewarnai perjalanan bangsa selanjutnya. Gereja dihancurkan, masjid disegel, rumah dibakar, monumen budaya didemo, hingga makam para leluhur pun tidak luput dari serangan. Ekspresi kebencian berbau rasis sangat telanjang dilakukan di ruang publik yang sejatinya memiliki konstitusi ini.
Banyaknya korban yang jatuh akibat kekerasan atas nama agama memperpanjang masa kelam bangsa ini. Selain tempat ibadah mereka dihancurkan, rumah mereka dibakar, ternak dan sumber penghasilan dibumi-hanguskan, kerabat meraka juga dipenjara bahkan dibunuh hingga peremupan dan anak-anak harus terusir oleh bangsa sendiri. Hingga kini, tidak sedikit jamaat Kritiani yang masih merasa tidak aman menjalankan ibadahnya karena sekolompok intoleran. Di wilayah lain, ada ratusan pengungsi dari Ahmadiyah dan Islam Syiah yang belum mendapatkan kepastian nasib dari negara yang telah hampir seabad merayakan kemerdekaannya.
Dalam suasana seperti ini, kehadiran tokoh masyarakat, pemuka agama, budayawan, aktivis sosial-politik yang masih memiliki kesadaran akan visi bangsa ini dan bahaya laten intoleransi sebagai tumor bagi ke-bhineka-an, menjadi harapan bagi masa depan Indonesia. Kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat yang rentan perpecahan ini diharapkan menjadi bagian penting dari arus kebangkitan menuju persatuan khususnya di negeri yang tercinta ini. Berikut kutipan sebagian tokoh-tokoh Islam Indonesia berkenaan dengan toleransi:
Syafi’i Ma’arif; Negarawan
Universalisme Islam haruslah dipahami sebagai ajaran yang fitri, manusiawi dan bernialai universal.Artinya, ajaran Islam, bila dipahami dengan benar dan akurat, akan dapat dihayati, diapresiasi, dan bahkan diterima oleh siapa saja yang terbuka mata-batinnya. Hambatan-hambatan sejarah, kultural, dan sosialogis tidak banyak artinya bagi penerimaan akan ajaran Islam sejati. Ajaran tauhid dan egalitirian adalah di atara ajaran Islam yang bernialai universal itu.
Tauhid membebaskan manusia dari segala ikatn duniawi dalam mencari kebenaran, sedangkan pesan egalitarian yang membuahkan persaudaraan hakiki adalah manifestasi lain dari prinsip tauhid itu. Manfestasi penting lainnya ialah sikap toleran yang tidak saja ditujukan kepada sesama Muslim, tetapi juga terhadap pemeluk agama lain-bahkan terhadap kaum ateis, sepanjang mereka tidak mengganggu keamanan umat Islam. (Sumber: Menuju Persatuan Umat, Mizan)
Nurchalis Madjid; Cendikiwan Muslim
Ukhuwah lebih baik kita kembangkan menjadi suatu yang menurut istilah sekarang, inklusivisme. yakni, kesediaan untuk merangkul semuanya sambil meningkatkan pemahaman yang bersifat lebih prinsipil dan ideologis.
Ukhuwah Islamiah yang bersifat ideologis itu sebetulnya harus didasarkan pada kesamaan konsep antropologis, yaitu siapa manusia; dan kosmologis, yaitu apa itu alam dan teologis, yaitu siapa Tuhan. (Sumber: Menuju Persatuan Umat, Mizan)
Alwi Shihab; Cendikiwan Muslim
Sejak periode Syaikh Shaltut, demikian pula sewaktu saya masih kuliah di Al Azhar, sudah digalakkan upaya pendekatan Sunni dan Syiah. Saya tegaskan Syiah itu dalam pandangan Al Azhar masih bagian dari Islam. Kami mahasiswa Al Azhar mempelajari Syiah sebagi bagian dari mata kuliah Mazhab-mazhab dalam Islam. Republik Islam Iran masuk dalam Organisasi Konferensi Islam [OKI], organisasi internasional yang anggotanya hanyalah Negara-negara Islam. Kalau bukan Negara Islam, Iran pasti sudah ditolak bergabung di OKI. Orang-orang Syiah juga naik haji. Pernah ada pertemuan dengan Duta Besar Arab Saudi, dan ditanyakan kepada beliau pandangannya mengenai orang-orang Syiah. Dia berkata, Syiah masih muslim juga. Karenanya Arab Saudi memberi izin kepada muslim Syiah untuk menunaikan ibadah haji dan masuk Haramain yang diharamkan bagi orang-orang non muslim. (taqrib.info)
Lukman Hakim Saefauddin; Menteri Agama
Perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dalam maslah agama adalah suatu kenyataan yang tak terantahkan. Hal itu karena pada qadratnya manusia berbeda-beda secara fisik maupun non-fisik termasuk tingkat kecerdasannya. Sangat boleh jadi perbedaan-perbedaan itu telah termaktub dalam “buku induk” Lauhil Mahfudz sebagai skenario Ilahi untuk menjaga kehormatan manusia sebagai ciptaan terbaik-Nya. Sebab jika Allah SWT berkehendak membuat cara berpikir atau cara sikap seluruh manusia sama, atau berkehendak menurunkan Alqur’an dengan hanya memiliki satu tafsiran atau bahkan tanpa diperlukan tafsir apapun dari manusia, maka semua itu tindaklah sulit bagi-Nya.
Kenyataannya, apa yang kita terima dalam hidup kebanyakan sudah seperti itu sejak dari sananya. Kita lihat Alqur’an tidak hanya mengandung yang tegas siap pakai (mahkumat), tetapi juga ayat-ayat mutasyabihat yang multitafsir yang memungkinkan orang berbeda pendapat satu sama lain. Bahkan untuk menentukan apakah suatu ayat termasuk kelompok ayat-ayat muhkamat atau bukan, itu saja sudah butuh penafsiran. Kita menjadi Jawa, Sunda, Betawi, Bugis, Papua dan seterusnya, atau menjadi Sunni, Syiah dan lain sebagainya, bahkan kita menjadi sebuah bangsa Indonesia yang utuh, semua karena kehendak-Nya. Nyaris manusia tidak terlibat sama sekali di dalamnya. Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, kita mendapati kawasan ini sudah penuh dengan begutu banyak ragam perbedaan di luar ideologi Islam dan nasionalisme, seperti pluralitas budaya yang melahirkan rasa toleransi yang tinggi antar berbagai budaya daerah. (Sumber: Pengantar Buku Syiah Menurut Syiah. 2014)
Quraish Shihab; Ulama & Mufassir
Tidak adanya ukhuwah Islamiah bukan diakibatkan oleh adanya mazhab, melainkan oleh kepicikan atau kesempitan pandangan orang-orang yang menganut mazhab. Jelas, juga bukan karena pemimpin mazhabnya. Kalau kita pelajari sikap keempat imam mazhab, mereka semua me memiliki rasa ukhuwah yang sedemikian besar, saampai masing-masing mereka berkata kepada yang lain, kalau pendapat Anda benar, Anda akan saya ikuti.
Sebagian besar dari penyebab tidak adanya ukhuwa Islamiah adalah tidak adanya hunuzh-zhan (prasangka baik)- kita selalu berprasangka buruk terhadap pihak lain di kalangan kita. (Sumber: Menuju Persatuan Umat, Mizan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H