Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Bingung Menghafal Jargon-Jargon Guru, Sebuah Distopia Pendidikan di Indonesia

25 November 2024   11:21 Diperbarui: 25 November 2024   11:55 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru dan siswa membaca (Contoh: Pribadi)

Tahun 2024, anggaran pendidikan mencapai Rp463,1 triliun atau 20% dari APBN. Namun bukan jaminan mutu pendidikan jadi meningkat. Harus diakui, anggaran tidak berkontribusi signifikan terhadap mutu pendidikan. Data World Population Review (2021) menyebut peringkat pendidikan Indonesia berada di posisi ke-54 dari total 78 negara. Sementara itu, UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016 menyatakan, Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sedangkan kualitas guru sebagai komponen penting dalam pendidikan tergolong memprihatinkan, berada di urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia.

Mutu pendidikan, masih menjadi soal di Indonesia. Adalah fakta 75% sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Bahkan kualitas pendidikan Indonesia berada di peringkat 40 dari 40 negara (The Learning Curve, 2014). Belum lagi maraknya kekerasan yang terjadi di sekolah. Belum lagi, Ikhtisar Eksekutif Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016-2020 dari Kemen-PPPA menyebut bahwa 84% siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah dan 50% anak pernah mengalami perundungan (bullying) di sekolah.

Makin maju bangsanya, justru pendidikan makin jadi polemik. Guru malah dikotak-kotakkan dengan beragam label. Ada guru penggerak, guru konten kreator, guru fasilitator, hingga guru P3K. Kurikulum pun demikan, menghafal istilahnya saja bikin bingung, apalagi impelementasinya. Ada Merdeka Belajar, Kampus Merdeka, Kurikulum Merdeka, hingga Platform Merdeka Mengajar. Akhirnya, dunia pendidikan hanya diperkaya dengan jargon atau slogan belaka. Sekali lagi sulit untuk memulai diskusi tentang mutu pendidikan, termasuk soal guru. Potret pendidikan Indonesia hari ini, boleh dibilang salah arah jika tidak ingin disebut carut-marut. Mulai dari krisis identitas, maraknya tindak kekerasan, hingga krisis kebangsaan menyelimuti langit pendidikan di Indonesia. Bolehlah disebut pendidikan Indonesia kian jauh dari utopia, malah menuju pendidikan yang tidak menyenangkan.

Bertepatan di Hari Guru, 25 November, mungkin patut direnungkan. Sebuah dystopia pendidikan di Indonesia. Kata 'distopia' yang mendeskripsikan keadaan yang berkebalikan dengan utopia (ideal). Mimpi dan harapan yang bisa jadi malah lebih buruk dari realitas pendidikann itu sendiri. Isu-isu pendidikan yang berpotensi menyebabkan kondisi seperti distopia. Pendidikan yang tidak lagi idela seperti diharapkan. Pendidikan yang mengalami dis-orientasi. Banyak hal yang harus diubah dan dibenahi dalam pendidikan Indonesia. Pendidikan Indonesia hari ini boleh dibilang pendidikan yang berorientasi pada "tahu sedikit tentang banyak hal, tetapi tidak tahu banyak tentang satu hal". Akibat kualitas guru diabaikan, akibat kurikulum yang makin tidak jelas arah pengembangannya.

 

Membenahi kualitas guru. Karena nyatanya, tidak sedikit guru yang hari ini tetap saja menjalankan proses belajar-mengajar dengan pola "top-down". Guru yang seolah berada "di atas" dan siswa berada "di bawah", guru bertindak sebagai subjek dan siswa objek belajar. Guru merasa berkuasa untuk "membentuk" siswa. Ibaratnya, guru bertindak sebagai "teko" dan siswa sebagai "gelas" sehingga siswa hanya menerima apapun yang dituangkan guru. Siswa tidak diajarkan untuk mengeksplorasi kemampuan dirinya; siswa yang tidak punya pengalaman belajar yang menyenangakn. Siswa-siswa yang disuruh tanpa diajarkan untuk mengenal dirinya.

Guru sering lupa. Belajar bukanlah proses untuk menjadikan siswa sebagai "ahli" pada mata pelajaran tertentu. Siswa lebih membutuhkan 'pengalaman" dalam belajar, bukan "pengetahuan". Karena itu, kompetensi guru menjadi syarat utama tercapainya kualitas belajar yang baik. Guru yang kompeten akan meniadakan problematika belajar akibat kurikulum. Kompetensi guru harus berpijak pada kemampuan guru dalam mengajarkan materi pelajaran secara menarik, inovatif, dan kreatif yang mampu membangkitkan gairah siswa dalam belajar. Karena itu, "Guru berhak memperoleh kesempatan meningkatkan kompetensi." (sesuai mandat UU Guru dan Dosen pasal 14 ayat 1 huruf d).

Terus terang, mutu pendidikan akan tetap omong kosong. Bila hari ini, guru masih mengajar dengan cara-cara lama. Guru yang arogan di dalam kelas namun tidak mau meningkatkan kompetensinya. Guru harus mampu mengubah kurikulum menjadi unit pelajaran yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Guru tidak butuh kurikulum yang mematikan kreativitas siswa. Maka seharusnya, guru menjadi sosok yang tidak dominan di dalam kelas. Karena guru bukan pendidik yang berbasis kunci jawaban. Tapi sebagai penuntun siswa agar tahu bidang pelajaran yang paling digemarinya.

Jangan kurikulum yang "merdeka", kurikulum berkualitas seperti apapun akan sia-sia. Apabila mindset guru tidak berubah. Guru adalah creator dan tidak perlu text book terhadap kurikulum. Guru tidak boleh nyaman dengan cara belajar yang satu arah. Sekali lagi, mutu pendidikan hanya bisa terjadi bila guru mengajar dengan hati, bukan hanya logika. Jadi, mutu pendidikan hari ini jelas ada di tangan guru. Kurikulum memang penting tapi tidak urgen bagi kualitas pendidikan. Menteri sehebat apapun tidak terlalu penting bagi mutu pendidikan. Kurikulum secanggiih apapun tidak bisa berbuat banyak terhadap mutu pendidikan bila guru tidak kompeten. Sudah terlalu banyak diskusi tentang teori-teori untuk memajukan pendidikan. Terlalu banyak perdebatan tentang pelaksanaan kurikulum yang efektif dan efisien. Tapi sangat disayangkan, justru kita terlalu sedikit bertindak untuk membenahi kompetensi dan mentalitas guru dalam mendidik. Kompetensi guru adalah jawaban terhadap mutu pendidikan di Indonesia.

Maka atas nama mutu pendidikan, ke depan, seharusnya kompetensi guru wajib ditingkatkan. Guru harus menyingkirkan egoisme atas nama lamanya pengalaman mengajar. Jangan karena guru mau urus "borang" tunjangan fungsional, siswa ditinggal tanpa ada tugas di kelas. Jangan karena guru mengejar sertifikat lalu menganggu proses pembelajaran siswa. Guru tidak boleh lagi arogan. Apalagi di era media sosial sekarang. Biar bagaimana pun, guru harus tetap digugu dan ditiru. Agar guru tetap punya kesadaran belajar untuk memperbaiki diri, di samping mau berempati kepada siswanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun