Ada benarnya nasihat, "Jangan takut kehilangan seseorang. Tapi takutlah Kehilangan dirimu sendiri karena ingin menyenangkan semua orang".
Pantas, dulu Bapak saya selalu kasih tahu. Bahwa nilai diri kita tidak ditentukan oleh orang lain. Bukan pula dilihat dari seberapa sempurna hidup kita. Melainkan justru terletak dari bagaimana cara kita memperlakukan diri kita sendiri. Bagaimana kita bersikap dan bertanggung jawab untuk diri sendiri, baru kemudian orang lain. Itulah nilai diri kita yang sejatinya, yang apa adanya.Â
Saya pun belajar dari TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Awalnya hanya 14 anak yang bergabung, lalu kini mencapai 160-an yang terlayani dengan baik. Relawan datang dan pergi. Bahkan ada orang-orang yang tadinya punya komitmen tapi akhirnya hilang entah kemana? Ada yang hilang, ada yang datang dari dan ke TBM Lentera Pustaka. Maka, jangan takut kehilangan apapun.
Semakin berproses, semakin matang usia. Akhirnya kita semakin paham bahwa tidak perlu takut kehilangan siapapun. Tidak perlu sedih kehilangan seseorang. Justru takutlah bila kehilangan Allah. Sedihlah bila kehilangan iman. Begitu prinsip sederhananya.
Bahkan lebih dari itu, jangan takut pula kehilangan teman-teman. Karena hakikatnya, teman pun bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Mereka tidak kasih makan, tidak pula sekolahkan kita. Jadi biarkan teman-teman mulai menjauh dan meninggalkan. Apapun yang pergi dan hilang, cukup lepaskan dan ikhlaskan. Karena begitulah siklus di dunia, selalu ada yang  datang dan pergi silih berganti. Sudah pasti, jangan pernah merasa kehilangan sesuatu. Sebab segalanya di dunia ini hanya sebuah titipan, tidak ada yang abadi.
Ini nyata terjadi. Saat seorang kawan, mengejar semuanya di dunia. Demi pergaulan demi dunia, apapun dikerjakan. Katanya, asal hatinya senang hidupnya gembira. Dan hebatnya, Allah pun berikan yang dia mau. Hidupnya seakan abadi di dunia. Mau salah mau benar semuanya dicampur jadi satu. Akhlak hancur, etikanya pergi. Lalu apa yang terjadi kemudian? Dia akhirnya kehilangan Allah.Â
Dunianya semakin membuat dia lapar dan haus dari akan kasih sayang Allah. Kini dia merindukan Allah yang sudah ditinggalkan nya. Karena dia takut kehilangan dunia, takut kehilangan dunianya. Justru kini, dia kehilangan apa yang paling penting dalam hidupnya, yaitu "keintiman" dengan Allah, kehilangan dialog indah pada Tuhannya.
Banyak orang menyangka. Sibuk urusan dunia dianggap kenikmatan. Bergaul cuma urusan dunia dianggap kehebatan. Waktu pun terbuang sia-sia. Sibuk mencari nikmat Allah di dunia justru membuat dirinya semakin menjauh dari Allah. Salah kaprah.
Jangan lupa, semua nikmat yang kita peroleh di dunia itu hanya fatamorgana. Apa yang diraih, apa yang dimimpikan berupa nikmat dari Allah ternyata hanya "debu". Apalagi tanpa ridho Allah, semuanya hanya "sementara".
"Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan itu berarti, Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar." (QS. Al Mu'minun: 55-56)