Suatu sore, ibuku bercerita. Bahwa selagi aku kecil, katanya ayahku selalu memijit bagian badanku sebelum tidur. "Kamu selalu minta dipijit-pijit kecil sebelum tidur" kata ibuku. Bahkan seringkali selagi kamu bayi, ayahmu mengaji di dekat telingamu, sambil bersholawat. Iya selalu bekerja keras, demi menafkahi anak-anaknya. Dari pagi hingga larut malam, bekerja di kantor mengajar di kampus. Bahkan ayahmu jarang mau ke dokter bila sakit, cukup dipijit atau refleksi badan saja.
Â
Aku pun terdiam. Tidak ada kata-kata yang aku ucapkan. Aku hanya membatin, "betapa ayahku seorang pekerja keras dan begitu sayang padaku".
Â
Kini aku sudah beranjak dewasa. Sudah 17 tahun usiaku. Ayahku menghadiahi sebuah buku berjudul "Hidup Sederhana". Aku disuruh membacanya. Tapi di balik, hadiah buku itu seolah ada pesan, "Cinta ayahku kepadaku memang luar biasa, tapi lebih banyak disimpan dalam hati karena aku perempuan". Iya begitu menghormatiku sebagai perempuan.
Â
Ibuku memang sering bertanya dan menelponku. Bertanya di mana, atau sekadar menanyakan kapan pulang? Saat aku sedang di luar rumah. Kebiasaan itu, mungkin yang diajarkan ayahku. Untuk selalu bertanya keadaan anaknya. Budaya yang ditanamkan ayahku sejak kecil.
Â
Ayahku memang jarang meneleponku, ia merasa suaranya tidak lembut sehingga khawatir salah berkata-kata. Seperti terakhir aku umroh di bulan April 2024 lalu. Iya hanya chat WA menanyakan, mau ikut umroh nggak? Aku pun menjawab "iya, mau". Maka berangkatlah aku dan ayahku ke tanah suci Mekah untuk kali kedua.
Â