Suatu sore di Kopi Lentera, seorang kawan bertanya. Soal seringnya dia meminta rezeki kepada Allah tapi tidak kunjung datang. Hidupnya masih tetap sulit, terkadang makan pun diubah jadi dua kali sehari. Selalu prihatin dan hampir bingung mau gimana lagi?
Lagi-lagi, dia meminta. "Yaa Allah berikan hamba rezeki yang lapang dan berkah". Selalu dan selalu untuk meminta rezeki, setiap hari setiap saat. Tapi kenapa rezeki itu belum kunjung jua?
Mungkin, banyak di antara kita yang belum memahami hakikat rezeki. Hingga setiap hari setiap saat, rezeki selalu diminta. Tentu, meminta rezeki bukan tidak boleh. Tapi siapapun harus tahu hakikat rezeki itu sendiri.Â
Bila mau disadari, ternyata rezeki itu sudah ada yang atur. Bahkan bila kita banyak membaca buku, khususnya buku tasawuf sang jelas ditegaskan "rezeki itu sudah Allah kasih dan Allah atur sesuai porsinya". Maka jangan pernah merasa ketika kita meminta rezeki kepada-Nya, lalu berpikir dan menuduh seolah-olah Allah tidak memberi rezeki. Sangat salah pikiran begitu.
Apapun alasannya, sudah sangat jelas. Hanya Allah pemberi rezeki satu-satunya. Allah maha pemberi dan maha mengetahui kebutuhan hamba-Nya. Bahkan dalam banyak hal, Allah selalu memberi tanpa diminta sekalipun. Silakan dicek saja.
Lalu, kenapa rezeki itu sulit dan tersendat?
Hakikat rezeki itu pasti mengalur dan Allah selalu memberi rezeki kepada hamba-Nya. Namun, terkadang rezeki itu sulit dan tersendat. Karena kesalahan dan dosa yang kita perbuat sendiri. Bahkan rezeki itu sering terhambat karena kurang dan tidak dekatnya kita kepada Allah SWT. Entah karena pendidikan, jabatan atau status sosial, fahtanya kita lebih bergantung pada ikhtiar dan usaha kita sendiri. Seolah rezeki itu datang karena jerih payah dan usaha kita. Itulah sebab utama salahnya cara pandang kita tentang rezeki.Â
Harus diakui, kurangnya "totalitas kita bergantung" kepada Allah bisa jadi kesalahan besar kita soal rezeki. Kita meminta banyak dan sering tapi tidak bergantung sepenuhnya kepada Allah. Kita ternyata lebi bergantung pada atasan, pada karier, pada bisnis atau kepandaian kita. Bahkan kita justru bergantung pada pangkat dan jabatan, harta, dan saldo rekening kita sendiri.
Kita sering lupa. Semua yang datang dan pergi hanya karena Allah, termasuk soal rezeki. Bahkan apa yang kita kumpulkan, sangat gampang bagi Allah untuk habiskan dan hempaskan. Rezeki yang digelapkan agar kita mau kembali total bergantung hanya kepada-Nya.Â
Sejatinya, sehebat apapun ikhtiar dan pikiran kita itu hanya syarat saja. Apa yang kita upayakan hanyalah jalan semata. Apapun kepandaian kita, hanya cara untuk menuju. Tapi yang maha menentukan segalanya, hanya Allah. Hanya Allah SWT, tidak ada yang lain.