Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Victim Mentality, Menganggap Diri jadi Korban Orang Lain

12 Maret 2024   17:08 Diperbarui: 12 Maret 2024   19:24 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: TBM Lentera Pustaka

Momen puasa, mungkin bisa jadi momen untuk introspeksi diri. Khususnya bagi mereka yang saat ini menganggap dirinya sebagai korban dari orang lain atau keadaan. Sebut saja, victim mentality atau victimhood. Tercermin dari perbuatannya yang membenci orang lain berketerusan, meneror orang lain, hingga merasa paling benar sendiri. Bahkan membaca tulisan seperti ini pun tersinggung, dianggap menyindir bukan nasihat. Apa yang terjadi hari ini dianggap perbuatan orang lain. Maka jadilah disebut "victim mentality", menganggap dirinya sebagai korban.

Kaum victim mentality sering lupa. Bahwa "tidak ada asap tanpa ada api". Tidak pula ada akibat tanpa sebab. Cuma hebatnya pemilik victim mentality yang "menerima akibat" rajin dan jago bersilat lidah, bicara ke sana-sini seolah-olah dia adalah korban. Sementara si pemilik sebab, hanya bisa diam dan bersikap sabar. Ketika itu terjadi, di situlah pemilik "victim mentality" merasa menang dan semakin jumawa untuk melakukan apa saja yang dianggapnya benar. 

Victim mentality, mentalitasnya sebagai korban. Lalu mengabaikan alasan kenapa akhirnya dia merasa jadi korban? Seolah-olah apa yang dialaminya atas sebab orang lain, hingga lupa kesalahannya sendiri. Merasa insecure, benci yang pantang menyurut, cemas yang berlebihan, depresi, hingga ujungnya berharap orang lain mengasihani dirinya. Kasihan pada orang-orang yang mentalitasnya korban (victim mentality). Karena mereka gagal introspeksi diri, lalu menyalahkan orang lain. Tiap ada masalah justru mencari penyebab salahnya, bukan mencari solusi atau memperbaiki diri. Cara berpikirnya tidak ada jalan keluar, dan menghakimi salahnya kepada orang lain.

Mungkin perlu dibuktikan melalui riset. Tapi victim mentality biasanya terjadi pada orang-orang yang gemar berbuat zolim. Bertindak tidak adil, kejam atau sewenang-wenang kepada orang lain. Zolim karena menuntut hak tanpa mau mengerjakan kewajiban. Menyerang orang lain, sambil membenarkan tindakan buruknya sendiri. Zolim karena 1) berpaling dari perintah Allah SWT, 2) melanggar hukum-hukum Allah SWT dan rasul-Nya, 3) suka melakukan kemungkaran, 4) selalu mengingkari kebenaran, dan 5) gemar melakukan perilaku tercela seperti dusta, khianat, aniaya, menghina, dan sebagainya. Bertindak zolim tidak pernah sadar, tahunya hanya menjadi korban. Victim mentality 

Victim mentality, kata-katanya atau narasinya sering berkebalikan. Tidak sesuai fakta, justru memanipulasi fakta menjadi bahan argumen untuk kepentingannya sendiri. Merasa menjadi korban, untuk memengaruhi orang lain. Agar peduli dan dikasihani. Terus bila itu sudah dilakukan pun, entah apa yang terjadi? Apa ada orang lain yang mau membantunya. 

Jadi, hati-hati dengan mentalitas korban alias victim mentality. Karena akhirnya menjadikan orangnya merasa paling benar, bertindak defensif, dan selalu menyalahkan orang lain. Tanpa mau introspeksi diri, tanpa mau bertanya tentang "kenapa semuanya terjadi pada saya?". Jangan menganggap diri jadi korban tanpa menyadari kesalahan diri sendiri. The show must go on, lebih baik introspeksi diri dan ikhtiar memperbaiki diri. Katanya "Allah tidak pernah salah menempatkan takdirnya". Nah, itulah yang patut direnungkan.

Daripada bertindak victim mentality, lebih baik diam. Diam untuk merenung akan pentingnya memperbaiki diri. Diam untuk berfokus pada solusi, bukan mencari siapa yang salah. Karena sejatinya, diam bukan berarti lemah. Tapi lebih baik untuk masa yang akan datang. Sambil tetap sabar dan syukur dalam segala keadaan. Hanya diam yang seringkali lebih efektif daripada berkata-kata seolah-olah menjadi korban dari orang lain. Jadilah literat #BacaBukanMaen #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun