Hingga kini, masih banyak orang menyangka. Bahwa hidup dianggap seperti cerita novel. Agar bisa dibaca ulang dari halaman pertama kapanpun kita mau. Ternyata tidak. Siapapun tidak lagi bisa mengulang hidup yang sudah lalu. Suka-duka, pahit manis sudah terlewati. Dan kita tidak lagi bisa mengulanginya dari halaman pertama. Karena kita hanya bisa membuat bab baru, halaman baru yang harus dijalani.
Seperti hangatnya kopi yang kamu aduk tidak bisa diulang lagi. Bahkan puisi yang kamu tulis pun tidak dapat dipanggil kembali. Secangkir kopi dan puisi itu hanya bisa membangkitkan emosi. Agar mampu membaca diri dengan cara yang lain. Jangan hanya bisa merasakan tanpa mau melakukan.
Mulailah, untuk tidak hanya jago meluapkan perasaan. Apalagi mengumbar emosi tanpa bisa mengendalikannya. Jangan terlena dengan kesenangan. Jangan tercabik oleh kekecewaan. Tapi tetaplah ikhtiar dalam kebaikan dan kemanfaatan. Sambil berdoa untuk merenda harapan.
Emosi itu pasti terjadi. Rasa itu selalu ada.
Demi menahan kita dari orang yang salah, Tuhan bisa saja mematahkan hati kita. Demi membuat kita bertumbuh dewasa, Tuhan pun membanting kita. Bahkan demi menyelamatkan kita dari tempat yang salah, Tuhan membuang kita dari tempat yang buruk.
Supaya apa? Supaya emosi kita terdidik dengan baik. Agar perasaan kita terkendali lebih bijak. Sama sekali, tidak akan pernah ada kecewabatau frustrasi bila emosi terdidik dengan baik. Tidak akan ada sedih atau bingung bila perasaan bisa terlatih dengan baik. Ada pesan yang harus dicari, kenapa semua itu terjadi?
Hari ini, penting untuk lebih mampu mendidik emosi. Melatih perasaan bukan hanya meluapkannya. Jangan hanya bisa mendidik otak dan logika. Hingga terlupa mendidik emosi dan hati. Mendidik emosi itu substansi.
Jadi, saat orang bertanya. Kenapa di taman bacaan? Maka jawabnya, saya sedang mendidik emosi dan menjaga hati. Untuk tetap bersikap realistis dan berpihak pada kemanfaatan. Di taman bacaan, saya mendidik diri. Selalu mau mengubah perspektif, mempertahankan pemikiran logis, dan menyuruh hati melangkah ke tempat baik. Itulah kenapa saya ada di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Agar saya lebih tahu bahwa segala hal tentang diri saya lebih penting ketimbang opini orang lain.
Sudah pasti, mendidik emosi tidak mudah. Mengendalikan perasaan pun sangat sulit. Tapi melatih diri untuk tetap bisa dan mampu berbuat baik dan bermanfaat pun harus diperjuangkan. Apapun alasannya.
Mendidik emosi itu penting. Melatih perasaan itu genting. Karena banyak orang pergi agar dicari, sengaja lari agar dikejar. Merasa berjuang tapi bercanda. Merasa ikhtiar tapi luar. Hingga pada akhirnya lupa. Untuk berterimavkasih dan bersyukur kepada Tuhan atas apa yang sudah dimiliki.