Menarik untuk dicermati dalam rencana roadmap dana pensiun di Indonesia. Yaitu tentang pengembangan dana pensiun untuk sektor informal, UMKM, milenial, dan masyarakat berpenghasilan rendah. Sebutlah namanya "dana pensiun mikro". Tujuannya tidak lain untuk meningkatkan penetrasi pasar dana pensiun di Indonesia. Di samping menjadi bagian "grand design" menciptakan ekosistem industri keuangan nonbank (IKNB). Khusus di dana pensiun, tentu pengembangan dana pensiun ke sektor informal dan UMKM memberi tantangan tersendiri. Di samping tingkat inklusi dana pensiun yang masih sangat rendah, hanya 5,4% saja sekalipun tingkat literasinya mencapai 30,5% (Survei OJK, 2022).
Mungkin sebagian kita sepakat. Bahwa "masa depan" dana pensiun di Indonesia seharusnya ada di DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan). Dan "masa depan" DPLK itu pun pada akhirnya bermuara di "kepesertaan individu". Orang per orang yang dengan sengaja dan mau mempersiapkan masa pensiunnya sendiri. Agar tersedia dana yang cukup untuk biaya hidup di hari tua. Bila cara pandang individual di DPLK itu bisa diterima, maka pekerja di sektor informal, UMKM, milenial, dan masyarakat berpenghasilan rendah ada di dalamnya.
Artinya, pekerja sektor informal, UMKM, milenial, dan masyarakat berpenghasilan rendah sangat berhak untuk ikut menyiapkan masa pensiunnya menjadi lebih baik. Sayangnya, realitas itu belum ideal. Karena saat ini, masih banyak pekerja menjadi peserta DPLK karena diikutsertakan oleh pemberi kerjanya. Menjadi peserta DPLK secara korporasi, bukan kesadaran individual. Oleh karenaya, jadi "pekerjaan rumah" besar untuk mendongkrak kepesertaan DPLK secara individual ke depan. Apalagi DPLK mau penetrasi ke sektor informal, UMKM, milenial, dan masyarakat berpenghasilan rendah.Â
Sulit dibantah di era begini, sektor informal dan UMKM telah menjadi "kekuatan" ekonomi baru. Saat ini ada sekitar 81 juta pekerja di sektor informal, sedangkan di sektor formal ada 57 juta pekerja. Sayangnya, mereka belum mendapat perhatian dalam hal dana pensiun. Hanya sedikit saja dari mereka yang sudah punya dana pensiun. Karenanya, agak penting memahami karakteristik peserta individual di DPLK, termasuk para pekerja formal, UMKM, milenial, dan masyarakat berpenghasilan rendah.Â
Dalam berbagai literatur, sektor informal dan UMKM memiliki ciri yang khas dari segi finansial, seperti 1) tingkat penghasilannya bersifat tidak tetap, 2) jenis pekerjaannya informal atau berusaha sendiri, 3) relatif tidak punya sistem kerja yang baku, 4) aktivitas kerjanya sederhana, 5) skala usahanya kecil, dan 6) biasanya tidak punya mekanisme administrasi yang kompleks. Bahkan kadang tidak punya izin, tidak punya NPWP, atau tidak punya struktur organisasi. Artinya, sektor informal dan UMKM sama sekali berbeda dengan pekerja formal atau sektor formal.
Setelah berdiskusi dengan beberapa rekan pengelola DPLK yang memiliki kepesertaaan individual. Bahkan pernah turun ke lapangan melihat langsung pedagang gorengan, tukang las, pedagang jamu, drivel ojol, pegawai warteg, milenial atau pengepul yang menjadi peserta DPLK. Maka patut disuarakan karakteristik peserta DPLK individual, mungkin nantinya akan sama dengan sektor informal, milenial dan UMKM, yaitu:
1. Peserta individual DPLK yang ada, sekitar 70% berada di sektor informal dan sisanya 30% di sektor formal.Â
2. Iuran yang disetorkan untuk DPLK tergolong kecil, paling besar Rp. 100.000,-
3. Iuran yang disetor pun besarannya berpotensi tidak tetap setiap bulannya atau tidak bisa reguler tiap bulan alias "iuran suka-suka", tergantung seberapa penghasilan yang diperoleh setiap hari atau tiap bulannya.
4. Usia pensiun yang ditetapkan biasanya sesuai dengan tujuan keuangannya, seperti untuk anak kuliah, untuk umroh atau naik haji, atau untuk renovasi rumah.Â
5. Mindset ikut DPLK karena tidak punya program pensiun untuk hari tua dan simpanan bila ada kebutuhan dana yang sifatnya mendesak.Â