Literasi memang universal. Ada di mana saja dan kapan saja. Seperti saat saya menyempatkan diri bersantap malam di Pendopo Lawas Alun-Alun Utara Yogyakarta semalam. Ternyata ada segudang pelajaran literasi di dalamnya. Klasik lagi sederhana, sebuah rumah makan berkonsep angkringan dan selalu ramai dikunjungi orang.
Sambil menikmati penampilan Tri Suaka, musisi Yogyakarta yang kian tenar di jagat musik Indonesia, Pendopo Lawas seakan mengajarkan kepada semua pengunjungnya untuk tetap "humble" alias rendah hati. Apapun latar belakangnya, semua orang harus antre untuk makan angkringan yang harganya tergolong murah. Uang boleh banyak tapi di Pendopo Lawas ya tetap antre dan sederhana saja.
Pendopo Lawas memang sederhana. Tapi buat saya, ia mewah dalam suasana dan keguyuban yang tetap rendah hati. Zaman begini, susah untuk tetap rendah hati. Apalagi mau menebar manfaat kepada banyak orang. Di sekeliling kita, banyak contoh orang yang begitu "kaya sedikit" tapi lagaknya sebakul. Bahkan sikapnya arogan, mau menang sendiri dan berbuat seenaknya. Merasa paling benar, lalu semua orang lain dianggap salah.
Persis seperti sebuah buku. Banyak dipuji orang tapi tidak ada yang mau membacanya. Kesederhanaan yang banyak didiskusikan orang tapi nyatanya bergaya hidup sok. Kebaikan yang sebatas bahan omongan tanpa pernah mau melakukannya. Tapi saat berkoar-koar, seolah-olah sudah paling banyak membaca buku, paling sederhana, dan paling baik. Bila sudah begitu, lalu mau jadi apa?
Di Pendopo Lawas, saya pun terusik. Melihat banyaknya orang dan makanan murah yang siap disantap. Â Untuk bertanya kepada diri sendiri. Bahwa "Saya sungguh belum melakukan apa-apa". Atau "Apa yang saya lakukan belum seberapa dan masih banyak kekurangan". Termasuk aktivitas sosial di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Sebuah cara sederhana untuk introspeksi diri, merenungkan tentang apa yang sudah diperbuat?
Maka tidak ada alasan bagi saya. Untuk menyombongkan aktivitas sosial di taman bacaan. Membina anak-anak yatim dan kaum jompo. Mengajar kaum buta aksara. Apalagi profesi dosen yang sudah berjalan 29 tahun. Semuanya belum apa-apa dan tidak ada apa-apanya. Selain ikhtiar untuk tetap berbuat baik dan menebar manfaat kepada banyak orang.
Sejatinya, kiprah sosial di manapun. Amal, sedekah, kepedulian dan perbuatan baik justru harusnya menjadikan saya untuk selalu merendahkan hati. Selalu merasa kurang dalam amal ibadah. Sekalipun segudang amal soleh telah ditorehkan di mana pun. Tetap rendah hati dan merasa kurang. Agar terhindar dari rasa angkuh dan merasa diri suci. Maafkanlah saya dan semoga Allah SWT tetap berkenan menerima amalan saya.
"Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan (beramal shalih), dengan hati yang takut (amal ibadah mereka tidak diterima) karena mereka yakin sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka" (Al Mu'minun 23:60).
Ada pelajaran dari Pendopo Lawas. Untuk selalu tetap rendah hati dalam keadaan apapun. Tanpa peduli apapun kata orang lain. Cukup sabar dan diam saat digunjingkan orang lain. Karena toh, mereka belum tentu lebih baik dari kita.
Rendah hati, berarti tetap ikhtiar baik dan selalu bersyukur atas apa yang ada, atas apa yang dimiliki. Agar anugerah dan nikmat itu terus ditambah oleh-Nya hingga menjadi berkah untuk diri sendiri dan banyak orang. Maka pesannya, sehebat apapun ibadah yang kita kerjakan, pasti ada kekurangan dan ketidaksempurnaan. Maka mintalah selalu petunjuk kepada Allah SWT dan tetap rendah hatilah setelah mengerjakannya.
Di Pendopo Lawas, ternyata siapapun bisa jadi lebih literat. Belajar dari hal-hal sederhana soal antre dan panganan angkringan yang murah meriah. Agar kita tetap eling, untuk tidak memaksa mengejar apa-apa yang tidak ada. Syukuri saja apa yang dipunya sambil ikhtiar lebih baik dan lebih baik lagi. Salam literasi #PegiatLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H