Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Alhamdulillah Tidak Tertarik Berdebat tapi Gemar Duduk di Bawah

17 Desember 2022   06:37 Diperbarui: 17 Desember 2022   06:41 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: TBM Lentera Pustaka

Bisa jadi, sekarang ini banyak orang tidak lagi mau duduk di bawah. Karena sudah terlalu cerdas, terlalu gemar berdebat. Argumentasinya banyak, alasannya tidak pernah habis. Otak dan jiwanya sudah diracuni urusan politik. Sehingga apapun dianggap perlu diperdebatkan. Orang-orang yang tidak mau lagi duduk di bawah. Makin tidak percaya Tuhan. Bahwa apapun yang terjadi, sudah ada dalam skenario-Nya.

Bila sudah tidak mau duduk di bawah. Maka 3 kali 3 bukan 9 melainkan 21, katanya. Orang miskin bukan dikasih makan tapi malah dinasihati. Pendidikan pun, katanya yang penting hasil akhir bukan prosesnya. Jadi, egois dan egosentris. Terlalu mementingkan diri sendiri. Saking merasa pintar, merasa pandai berdebat. Orang lain selalu salah, dia selalu benar. Akibat tidak mau lagi duduk di bawah.

Alhamdulillah, saya masih mau duduk di bawah. Sudah tidak tertarik pada perdebatan. Apalagi argumentasi untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Senang duduk di bawah, baik beralaskan tikar, terpal atau ubin sekalipun. Karena duduk di bawah adalah simbol sikap rendah hati, sederhana dan menjunjung tinggi toleransi. Karena mau duduk di bawah, siapapun jadi mau mendengarkan orang lain. Meruntuhkan sikap sombong dan tinggi hati. Bahkan jadi eling. Bahwa semua orang itu setara. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih rendah. Tradisi duduk di bawah. Itu simbol bahwa di mata Allah SWT, semua orang sama saja. Pembedanya, hanya amal ibadah, iman dan takwa. Mau raja, mau rakyat sama saja. 

Tradisi duduk di bawah. Artinya berani saling menghormati, saling menghargai. Bukan hanya mau menang sendiri. Tidak perlu merasa tinggi, cukup biasa-biasa saja. Tidak perlu egois. Karena membesarkan ego, sama artinya dengan mengecilkan ikhtiar dan doa, Terus kita bertanya, memang siapa kita?

Duduk di bawah, itulah tradisi yang masih dipelihara di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Ngobrol di bawah, makan di bawah. Membimbing anak-anak yang membaca pun duduk bersila di bawah. Agar mampu menerima perbedaan, mensyukuri keadaan. Bahwa semua anugerah Allah SWT pasti  indah dan mewah. Dan sangat pantas untuk kita, tidak kurang tidak lebih.

Kenapa duduk di bawah? Karena harmoni dan toleransi itu ada pada jiwa dan raga yang masih mau duduk di bawah. Manunggaling kawula lan gusti. Salam literasi #BacaBukanMaen #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka

Sumber: TBM Lentera Pustaka
Sumber: TBM Lentera Pustaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun