Kemudian pada ayat 3)Â ditegaskan pula "Selain larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dana Pensiun Lembaga Keuangan dilarang mengalihkan pengelolaan aset kepada pihak ketiga." Ketentuan ini pun harus dipertanyakan atau disikapi, apa iya DPLK tidak boleh menggunakan manajer investasi eksternal? Bila begitu, DPLK berarti "dituntut" punya keahlian mengelola aset layaknya manajer investasi. Atau karena manajer investasi berdasarkan RUU ini dapat jadi pendiri DPLK untuk menghindari konflik kepentingan? Sepatutnya tidak begitu, karena DPLK menjalankan "perintah" investasi dari peserta maka penempatan investasi melalui manajer investasi adalah cara yang saat ini lebih tepat. Agar dana DPLK peserta lebih optimal.
Â
13. Â Â Pasal 168 ayat 1) "Penyelenggaraan Dana Pensiun dapat diberikan fasilitas insentif perpajakan." Aturan ini patut dikawal agar bisa "melahirkan" insentif perpajakan untuk peserta DPLK. Kata "dapat" itu berarti bisa, boleh, mungkin. Maka harus diidentifikasikan, kondisi seperti apa yang boleh dan mungkin. Tentu, sesuai penafsiran yang normatif berdasarkan regulasi.
Â
14. Pasal 183 ayat 1)Â "Setiap Dana Pensiun wajib menjadi anggota salah satu asosiasi Dana Pensiun yang sesuai dengan ruang lingkup usahanya." Hal ini tentu untuk meningkatkan peran asosiasi dalam mengatur para anggotanya (self regulatory) sekaligus menjadi wadah koordinasi dengan regulator karena asosiasi pun harus mendapat persetujuan tertulis dari OJK.
15. Pasal 186 ayat 1) Pemerintah mengharmonisasikan seluruh program pensiun terkait yang bersifat wajib sebagai upaya peningkatan perlindungan hari tua dan percepatan akumulasi simpanan nasional jangka panjang. Artinya, setelah RUU P2SK ini pun pemerintah harus tetap mengharmonisasi peraturan yang ada dan turunannya untuk perlindungan hari tua. Poin ini harus terus disosialsiasikan agar pengembangan dana pensiun di Indonesia bisa signifikatm baik dari kepesertaaan maupun aset yang dikelola. Misalnya, iuran wajib nantinya akan secara bertahap mencapai 15% pada 2032, harus dikawal agar terealisasi apalagi dikaitkan dengan kewajiban pesangon.
Selain hal-hal di atas, tentu RUU P2SK pun mengatur hal lain yang mungkin "tergolong baru", seperti adanya ketentuan pengelola statuter, pengelolaan aset dan liabilitas program pensiun, pengelola program pensiun sebagai profesional yang wajib memiliki kompentensi dan pengalaman memadai, pengaturan cut loss, dan pembentukan unit aktuaria di OJK dan kementerian urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Jadi ke depan, apa yang dilakukan dengan RUU P2SK ini? Tentu, pelaku DPLK mencermati naskah draft RUU P2SK dengan optimal, di samping memberi masukan yang dianggap perlu sesuai tenggat waktu yang tersedia ke pemerintah maupun DPR. Karena memang, masih perlu penjelasan dan pendalaman lebih lanjut untuk implementasi di lapangan dan upaya pengembangan industry dana pensiun ke depan.
RUU P2SK ini bila sudah di-undangkan pun bukan "solusi segalanya" tapi sebagai pemantik untuk meningkatkan potensi dan pertumbuhan industri dana pensiun yang lebih besar. Karena itu, ada agenda di belakang harus tetap dilakukan seperti: 1) edukasi kepada publik, 2) dukungan teknologi yang memadai, 3) strategi pemasaran yang lebih optimal, dan 4) koordinasi internal di masing-masing pelaku untuk "beradaptasi" dengan UU yang baru nanti.
Pasti, nantinya akan ada peraturan turunan dalam bentuk PP (Peraturan Pemerintah) atau POJK (Peraturan OJK) yang lebih teknis untuk mengembangkan industri dana pensiun. Itu semua harus terus dikomunikasikan dan dikawal secara seksama.