Ini sedikit pengalaman. Bahwa taman bacaan di mana pun, bisa jadi tidak akan pernah baik untuk orang yang salah. Seperti kamu pun tidak akan pernah cukup baik di mata orang yang membencimu. Jadi sangat lazim, bahwa baik dan tidak baik itu ada di dekat taman bacaan. Agar ke depan, siapa pun bisa mengantisipasinya.
Jujur saja, tidak ada taman bacaan yang sejak didirikan baik-baik saja. Pasti ada pasang surutnya, bahkan segudang tantangan yang menghadang. Mulai dari orang-orang yang mempertanyakan legalitas atau izin taman bacaan atau asumsi subjektif yang menyatakan membaca buku tidak ada manfaatnya. Lingkungan yang tidak mendukung. Bahkan ada pula orang tua yang melarang anaknya untuk membaca buku. Entah karena apa alasannya?
Mungkin semua sepakat. Bahwa taman bacaan itu tempat perbuatan baik. Menyediakan buku-buku bacaan secara gratis, membimbing anak-anak yang membaca, bahkan bisa jadi sentra kegiatan masyarakat. Tapi tetap saja ada orang-orang yang benci taman bacaan. Tidak mendukung aktivitas literasi sedikit pun. Pegiat literasi di taman bacaan dan para relawan yang sudah meluangkan waktu tanpa pamrih, tanpa bayaran pun seringkali "disangka" yang buruk. Maka jawabnya, karena taman bacaan tidak akan pernah baik untuk orang yang salah.
Kondisi itu pula yang dialami Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak. Saat berdiri hanya 14 anak yang mau bergabung ke taman bacaan. Lalu berkembang pesat dan anak pembaca aktif bisa mencapai 160-an anak. Dan kini, hanya ada 100-an anak yang aktif membaca buku seminggu 3 kali. Untungnya di TBM Lentera Pustaka, ada 14 program literasi seperti Gerakan berantas buta aksara, kelas prasekolah, yatim dan jompo binaan, hingga koperasi simpan pinjam. Jadi, aktivitas literasi di TBM Lentera Pustaka tetap berjalan dengan seharusnya.
Ada kok orang tua yang melarang anaknya ke taman bacaan. Lingkungan dan aparatur yang apatis dan tidak mendukung aktif. Karena itu, pesan pentingnya adalah taman bacaan harus terus bergerak dan lebih kreatif untuk mengelola taman bacaan. Karena taman bacaan adalah ladang amal banyak orang. Pegiat literasi, relawan, donatur buku, hingga korporasi dan komunitas yang melakukann bakti sosial atau CSR di taman bacaan. Memang, taman bacaan harus bersikap untuk tidak kompromi pada orang-orang yang membenci. Tapi taman bacaan pun harus terus ikhtiar untuk menjadi lebih baik dalam ber-literasi.Â
Taman bacaan tidak akan pernah baik untuk orang yang salah. Itu fakat dan bukan kamuflase. Agar taman bacaan tetap berhati-hati dan waspada. Di samping terus menjaga semangat ber-literasi dan tetap komitmen untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik. Kadang ada benarnya, taman bacaan lebih baik mengalah daripada serba salah.
Karena di mata orang membenci, selalu ada celah untuk melihat taman bacaan selalu salah. Orang yang salah, pasti menganggap perbuatan baik di taman bacaan selalu salah.
Maka di taman bacaan, butuh energi ekstra untuk melanggengkan aktivitas literasi. Di samping memahami realitas ada orang-orang yang salah dalam melihat taman bacaan. Biarkanlah semuanya ada di taman bacaan. Hingga waktu yang akan membuktikannya. Siapa yang akan menjadi lebih baik ke depan?
Â
Toh pada akhirnya, taman bacaan dan buku akan menemukan jalannya sendiri. Karena di era digital begini, hanya taman bacaan dan buku yang dapat mengubah "ruang gelap menjadi bersinar terang". Salam literasi. #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H