Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Untuk Apa Belajar?

24 Februari 2022   07:13 Diperbarui: 24 Februari 2022   07:19 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: TBM Lentera Pustaka

Belajar, kata banyak orang, agar lebih pintar atau sukses. Belajar selalu identik dengan keberhasilan personal. Maka orang yang pintar, sukses, dan kaya pasti dianggap berhasil belajar. Belajar pun selalu dianggap ada di sekolah formal. Seakan-akan tidak ada tempat lain yang mampu dijadikan "tempat belajar". Begitu pandemi Covid-19 datang, maka belajar di sekolah formal pun kocar-kacir. Itu fakta yang terjadi.

Belajar itu tidak harus pintar. Belajar pun bukan untuk kaya. Untuk apa pintar dan kaya bila tidak bermanfaat untuk orang lain. Katanya, sebaik-baik orang adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain. Lalu bila pintar dan kaya namun tidak bermanfaat untuk orang lain, apa itu hasil dari belajar yang berhasil?

Maka faktanya, perilaku belajar selalu mendengarkan guru. Belajar pun harus bisa menjawab soal. Belajar katanya harus mengerjakan tugas. Dan akhirnya belajar hanya bersandar pada nilai. Angka-angka tinggi yang menentukan keberhasilan belajar seorang anak. Nilai pun dijadikan tolok ukur orang yang belajar. Maka wajar, setelah bekerja mereka mengukur sukses itu hanya dari kekayaan, dari kepintaran. Salah besar bila belajar seperti itu.

Belajar itu bukan untuk pintar, apalagi agar kaya. Sejatinya, belajar itu untuk memperbaiki diri. Belajar pun untuk bertahan hidup. Maka seharusnya, belajar tidak melulu soal pelajaran sains dan pengetahuan. Tapi belajar untuk membentuk sikap dan perilaku untuk memahami kehidupan. Belajar menjadi manusia yang lebih baik. Belajar tentang akhlak, tentang etika dalam hidup. Dan yang penting, belajar itu harus asyik dan menyenangkan.

Konsep belajar untuk membentuk sikap dan perilaku itulah yang dijalankan di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Sebuah taman bacaan yang menjadikan membaca buku tidak hanya untuk menambah pengetahuan. Tapi membaca untuk bersikap agar tidak putus sekolah. Membaca buku sebagai kebiasaan mengisi waktu daripada main gawai, nongkrong atau menonton TV. Di taman bacaan, belajar tidak lagi terbatas pada ruang kelas atau doktrin seorang guru. Belajar harus asyik dan menyenangkan. Bila perlu belajar sambil bermain.  

Berbekal model "TBM Edutainment", TBM Lentera Pustaka pun menjadikan aktivitas literasi dan kegiatan membaca buku sebagai edukasi dan entertainment. Ada nilai-nilai pendidikan dan hiburan yang disajikan. Seperti kewajiban untuk mengucapkan salam, cium tangan, antre, dan membaca bersuara. Ada salam literasi, doa literasi, dan senam literasi. Belajar di taman bacaan, bisa dilakukan di mana saja. Belajar di kebun, di sungai, bahkan di jalanan. Agar anak-anak dapat melihat realitas kehidupan secara langsung. Lalu dijelaskan, kenapa begitu?

Jujur di Desa Sukaluyu lokasi TBM Lentera Pustaka yang sebagian besar masyarakatnya prasejahtera dan tingkat putus sekolah tinggi, memang belajar untuk sukses seperti apa yang diharapkan? Belajar untuk bertahan tetap sekolah saja sulit. Apalagi belajar untuk kaya atau sukses. Maka TBM Lentera Pustaka hanya menjadikan belajar untuk membangun kesadaran sekaligus tetap berdaya sekalipun dalam keadaan terbatas, akibat ekonomi lemah dan pendidikan terbatas.

Lagi-lagi, belajar itu bukan untuk pintar atau sukses. Sehingga kehilangan akhlak dan hati nurani. Hanya orang pintar dan sukses yang kerjanya berani mencari-cari kesalahan orang lain. Cara berpikirnya ribet tapi perilaku baiknya nol besar. Semua hal dipertanyakan, bahkan bukan bidang keahliannya pun dikomentarin. Akhirnya, bertabur kebencian dan memperbesar perbedaan. Lalu menganggap dirinya sendiri yang benar dan semua orang lain sala. Apalagi orang-orang yang tidak sepaham dengannya.'

Maka jelas, beda orientasi belajar di sekolah dan belajar di taman bacaan. Di sekolah, orang belajar untuk pintar. Sementara di taman bacaan, belajar untuk memperbaiki diri, Di sekolah belajar untuk sukses atau kaya, Sementara di taman bacaan, belajar untuk bertahan hidup secara realitas. Dan di sekolah, bisa jadi belajar untuk mengabaikan akhlak dan hati nurani. Tapi di taman bacaan, belajar cukup untuk berpegang pada akhlak dan etika. Belajar dalam kesederhanaan tindakan, bukan kemewahan pikiran. 

Belajar di taman bacaan. Agar di saat lapar, tahu cara bikin kenyang dirinya sendiri semampunya. Bukan teriak-teriak lapar ke mana-mana. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun