B-a = ba, c-a = ca .... baca. Tetap belajar membaca dan menulis. Itulah realitas yang terjadi di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Dua minggu sekali, kaum ibu warga belajar GErakan BERantas BUta aksaRA (GEBERBURA) masih berkutat dengan urusan baca-tulis di tengah gempuran era digital. Mereka hanya fokus untuk tidak lagi buta huruf. Agar bisa mengenal dan mengeja huruf demi huruf di hadapannya.Â
Bisa jadi, ibu-ibu buta aksara di kampung kecil ini tidak tahu, apa itu omicron? Apalagi PPKM level 3. TV digital pun mereka tidak tahu. Mereka masih sibuk menggunakan pulpen untuk membuat tugas menulis kata demi kata dan kalimat di rumah. Bahkan pulpen-nya masih digunakan untuk menunjuk huruf saat mengeja kata-kata di papan tulis. Agar terbebas dari belenggu buta aksara.
Kaum buta aksara di era digital, sudah terlalu lama mencampakkan yang namanya cita-cita dan impian dalam hidup. Mereka hanya ikhtiar bertahan dalam hidup. Di tengah himpitan ekonomi dan ketidak-berdayaan sosial. Mumpung ada yang mau mengajarkan, mereka pun rajin belajar membaca dan menulis di TBM Lentera Pustaka. Ada relawan yang mau mengajar. Sepulang belajar diberi hadiak mie instan. Ada tempat untuk belajar baca-tulis. Itu semua sudah cukup untuk disyukuri kaum buta aksara. Karena mereka percaya, bahwa setiap hembusan nafas orang yang belajar isinya adalah kebaikan dan keberkahan. Sederhana sekali.
Sementara di luar sana, kaum buta aksara, punya segudang rencana dan impian yang masih terus dikejar. Hingga khawatir atas apa yang terjadi di masa depan. Sibuk mengejar pangkat, harta, dan status sosial. Entah untuk apa? Hingga orang-orang yang tidak sepaham pun segera dibenci, dihujat. Ngotot untuk membenci apa pun yang lahir dari lawannya. Literasi di mata mereka hanya omong kosong.
Faktanya, tidak sedikit orang menghabiskan waktu untuk urusan yang sia-sia. Sibuk ngurusin orang lain. Kepo kata orang sekarang. Sambil menebar kebencian yang dipublikasikan, bahkan mengumbar aib apa pun bentuknya. Jangan menolong orang lain, mengatur waktu untuk yang baik dan produktif saja sulit. Alih-alih, menuding orang lain salah. Lalu, hanya dia sendiri yang paling benar.Â
Â
Banyak orang lupa. Baik itu universal dan miliki semua orang. Kebaikan pun ada pada diri setiap manusia. Maka tidak perlu mencari kesalahan orang lain. Apalagi bermentalitas "korban". Seolah keadaan yang menimpa dirinya dianggap ulah orang lain. Ketahuilah, jika kamu benar, maka tidak perlu marah. Jika kamu salah pun wajib meminta maaf. Jika kamu kaut, maka tidak usah membuat orang lain lemah. Dan jika kamu lemah, tidak perlu merasa takut. Karena apa pun yang terjadi di dunia ini, sudah atas kehendak Allah SWT. Itu semua pasti baik, pasti sanggup, dan pasti ditolong Allah SWT.
Maka jangan benci dan musuhi siapa pun. Karena semua itu hanya "menghabiskan" pahala dan menumpuk dosa. Tetaplah bersikap objektif. Hidup itu tidak melulu logika tapi ada hati bahkan etika. Tetaplah menjadi baik. Karena tidak ada orang baik yang tidak punya masa lalu. Tidak pula ada orang jahat yang tidak punya masa depan. Jangan mudah membenci siapa pun. Jadilah orang baik. Karena "bunga teratai pun tetap mekar dan cantik meski tinggal di air yang kotor".Â
Â
Belajar dari kaum buta aksara. Mereka hanya kerjakan yang menjadi bagiannya. Walau hanya belajar membaca dan menulis di taman bacaan. Jadi, tidak usah galak-galak dalam hidup. Rileks dan teruslah berbuat baik seperti pegiat literasi di taman bacaan. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H