Lalu anak ke-3 lain lagi, dia menjawab akan mengambil dan membawa keliling sambil menanyakan, pohon kelapa itu milik siapa? Buah kelapanya jatuh dan saya mau kembalikan kepada yang punya pohon.
Apakah anak ini cerdas? Iya, anak yang cerdas secara karakter,
Dan akhirnya anak ke-4 pun menjawab dia mengambil buah kelapa kelapa yang jatuh dan memberikan kepada seorang bapak yang sedang kepanasan di pinggir jalan untuk diminumnya.
Apakah anak ini cerdas? Iya, anak yang cerdas secara sosial.
Cerita di atas sangat jelas membuktikan, bahwa setiap anak itu cerdas. Anak ke-1 punya kecerdasan akademik. Anak ke-2 punya kecerdasan finasial. Anak ke-3 punya kecerdasan karakter. Dan anak ke-4 punya kecerdasan sosial.
Sekali lagi, setiap anak punya kecerdasan-uniknya masing-masing. Tidak sama antara anak satu dengan anak lainnya.
Tapi sayang hari ini, banyak guru atau orangtua hanya menilai kecerdasan anak hanya dari satu sisi saja. Hanya "kecerdasan akademik", sebagai ukuran cerdas atau tidaknya anak.
Orangtua dan guru sering lupa. Kecerdasan anak bukan hanya nilai rapor. Bukan pula sebatas nilai ulangan di sekolah. Apalagi menuding siswa IPA lebih pintar daripada siswa IPS yang kini di kurikulum "Merdeka Belajar" sudah tidak ada lagi.
Maka dari itu hargailah kecerdasan setiap anak. Biarkan mereka meraih kecerdasan dalam hidup dengan caranya sendiri, sesuai potensi dan kemampuannya. Entah cerdas secara akademik, finansial, karakter atau sosial.
Prinsip kecerdasan universal inilah yang diajarkan TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak yang kini menjadi tempat membaca buku 130 anak pembaca aktif usia sekolah dari 3 desa (Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya).