Silakan dicek, jujur saja, awalnya banyak pihak swasta "belum mau" ber-CSR alias jadi sponsor di taman bacaan. Maka wajar, taman bacaan sulit berkembang.Â
Akibat tidak adanya dana untuk beli buku apalagi membiayai operasional walau hanya biaya bikin rak buku. Entah kenapa, pihak swasta "belum mau" ber-CSR ke taman bacan?
Saya juga bingung waktu mau mendirikan TBM Lentera Pustaka tahun 2017 lalu. Ngeluarin uang Rp. 10 juta dari kocek pribadi. Untuk bikin rak, keramik lantai, dan aksesori sebagai TBM.
Lalu, siapa yang orang yang mau menjadi "petugas" (sekarang namanya "wali baca")?Â
Di zaman begini, apa ada orang mau gratisan ngurus TBM, sukarela? Apalagi saya hanya seminggu sekali ke TBM Lentera Pustaka, di tiap Sabtu-Minggu saja. Terus terang, agak sulit terjun ke taman bacaan.
Gimana caranya bisa membiayai operasional TBM?
Khususnya buat memberi honor ke wali baca. Maka saya pun mulai menawarkan pihak swasta untuk terlibat di taman bacaan dan gerakan literasi. Intinya, pihak swasta menjadi sponsor TBM Lentera Pustaka.Â
Tentu dengan men-donasikan sejumlah dana untuk biaya operasional TBM selama setahun berjalan. Gak gampang tapi harus ikhtiar dan berjuang. Alhasil, luar biasa.
TBM Lentera Pustaka sejak didirikan selalu di-sponsori oleh CSR korporasi. Untuk apa? Untuk biaya operasional, seperti: honor wali baca, wifi, listrik, event + jajanan gratis, dan beli buku.
Dengan CSR korporasi di TBM, praktis saya tidak ada sama sekali mengeluarkan biaya dari kocek pribadi. Tingga menjalankan program literasi dan aktivitas taman bacaan dengan baik, kreatif, dan menyenangkan.Â
Sebagai bahan pertanggungjawaban ke mitra CSR korporasi yang sudah "rela" membiayai operasional TBM. Iya dong pastinya, mana ada orang mau mengeluarkan biaya tanpa ada benefits-nya? Kontraprestasi dari TBM apa?