Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Catatan Pegiat Literasi, Bila Tidak Sama Kenapa Tidak Boleh Beda?

6 Desember 2021   17:31 Diperbarui: 6 Desember 2021   17:50 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: TBM Lentera Pustaka

Bila tidak sama, kenapa tidak boleh beda?

Mungkin, itu ungkapan yang paling cocok untuk mewakili tiap perbedaan di zaman begini. Di tengah banyaknya orang yang memaksakan kehendak atau keinginan. 

Atau di antara grup-grup WA yang "berkomplot" untuk menyatakan geng-nya keren. Lalu, perilakunya hanya menyangkal orang lain. Kemudian berkembang jadi menyalahkan orang lain lalu membenci, minimal gibah. Maka jadilah perbedaan bila tidak mau disebut permusuhan. Bila tidak sama, kenapa tidak boleh beda?

 

Di era politik identitas dan dinamika media sosial seperti sekarang, perbedaan kian meruncing. Atas nama perbedaan, banyak orang yang sudi "mengorbankan" pertemanan. Karena beda pilihan politik, karena beda orientasi. Itulah yang disebut "jahatnya politik". Karena mampu menafsirkan demokrasi secara sempit, lalu membenarkan pikirannya sendiri. Banyak orang lupa, bahwa politik itu siasat. Politik pun sesaat.

Hari ini, banyak orang merasa benar sendiri. Sayangnya, sambil menyalahkan orang lain. Berteriak sedang berjuang untuk kebaikan tapi sebatas retorika saja. Tinggal ditanya saja, memang siapa yang menikmati perjuangan dan kebaikan mereka? Itulah orang yang merasa benar sendiri. 

Karena mereka sejatinya justru sedang frustrasi. Untuk memperjuangkan mimpi-mimpinya yang tidak terlaksana. Apalagi bila musuhnya, mereka sama sekali tidak terima untuk diperintah. Istilah kata, siapa saja boleh jadi pemimpin asal bukan musuhnya atau orang yang dibenci. 

Bila sikap perbedaan yang tidak objektif itu terjadi. Maka dapat dipastikan orang itu sangat subjektif. Manusia tidak literat yang gagal menerima realitas. Fakta berbeda, sikap dan perilakaunya pun berbeda. Apa yang diomong tidak sama dengan yang dikerjakan. Lupa, bila tidak sama. Kenapa tidak boleh beda?

Bila tidak sama, kenapa tidak boleh beda?

Itulah spirit yang dijalankan Taman Bacaan Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Sebaga ikhtiar untuk menjadikan masyarakat yang literat. Masyarakat yang mau membaca dan mampu menerima realitas. 

Tidak usah takjub terhadap perbedaan. Sehingga gagal move on untuk menatap ke depan lebih optimis. Hingga lupa berbuat kebaikan secara konkret. Taman bacaan dan egiat literasi di mana un, harus berani mengingatkan kebenaran dan cara pandangnya sendiri. Tidak harus sama dengan orang kebanyakan. Bila tidak sama, kenapa tidak boleh beda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun