Tidak banyak orang mau jadi guru. Apalagi guru kaum buta huruf. Selain harus mampu mengajar membaca dan menulis. Guru buta huruf pun harus mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Karena guru, adalah membangun kegembiraan dalam belajar. Bukan hanya pengetahuan semata.
Dari sekitar 3 juta orang Indonesia yang buta huruf. Tidak bisa baca tidak bisa tulis. Realitas itu tentu bukan Cuma soal statistic. Tapi sangat membutuhkan kepedulian, kehadiran seorang guru yang mau terjun langsung membantu mereka. Agar terbebas dari belenggu buta aksara. Kaum yang masih dihantui kegelapan. Sehingga lebih berdaya di era digital.
Itulah yang terjadi di GErakan BERantas BUta aksaRA (Geberbura) TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Satu kawasan yang tidak jauh dari kota Jakarta, hanya 75km dari ibukota negara. Ternyata, masih ada kaum buta huruf. Ada 9 kaum ibu yang tergolong sudah berumur, di kisaran 45-65 tahun yang selama ini memang tidak memiliki akses belajar membaca dan menulis. Mulut dan lidahnya pun kaku untuk mengeja kata dan membaca kata demi kata. Bahkan tangannya pun kaku untuk menulis di buku. Warga belajar buta aksara yang rata-rata tingkat pendidikannya 33% tidak sekolah dan 67% tidak lulus SD.
Seminggu dua kali, kaum ibu GEBERBURA belajar membaca dan menulis. Dari mulai menulis nama, tanda tangan, mengeja kata, hingga membuat kalimat sederhana. Lalu, membaca teks Pancasila, Sumpah Pemuda, dan lagu Indonesia Raya. Selalu ada "pekerjaan rumah" tiap kali belajar. Agar tangan mereka lebih terbiasa dalam menulis huruf demi huruf, kata demi kata di rumah.
Adalah Syarifudin Yunus, penggagas GEBERBURA TBM Lentera Pustaka dibantu oleh para relawan yang menjadi guru kaum buta huruf. Sebagai ikhtiar untuk memastikan para warga belajar benar-benar terbebas dari belenggu buta aksara. Sambil berjuang untuk mempertahankan semangat dan kemauan belajar. Maka selalu ada "hadiah" berupa mie instan atau seliter beras untuk dibagikan seusai waktu belajar. Untuk memotivasi agar tetap rajin datang belajar baca tulis.
Memang tidak mudah menjadi guru buta aksara. Bukan guru di sekolahan. Selain komitmen, guru buta aksara membutuhkan konsistensi dan cara beda dalam mengjar.Â
Agar kaum buta aksara tetap mau bertahan belajar membaca dan menulis, Maklum, mereka tidak punya rapor, tidak ada kenaikan kelas, bahkan tidak ada presensi. Beum lagi ditambah urusan rumah tangga. Terlalu rentan untuk "tidak datang" belajar.
Dan kini, kaum ibu warga belajar GEBERBURA sudah terlatih untuk mengenal huruf dan angka, mengeja suku kata dan kata, dan menulis kalimat. Kaum buta huruf yang kini sudah mampu membaca dan menulis walau perlahan. Tentu, berkat proses belajar yang dijalani dengan rileks sambil diselingi guyonan. Sebuah program berantas buta aksara yang memberikan perhatian khusus pada pelibatan aktif setiap individu dalam kegiatan belajar.
Inilah bukti pemberantasan buta aksara dan gerakan literasi yang dijalankan di kampung kecil di kaki Gunung Salak Bogor.
Maka guru di mana pun, tidak cukup hanya bermodalkan kecerdasan dan pendidikan. Tapi lebih dari itu, guru yang memiliki hati dan berani berhadapan dengan realitas. Guru yang peduli untuk mempertahankna semangat belajar siswanya.
Karena sejatinya, siapa pun bisa membayar guru untuk mengajar. Tapi belum tentu bisa membayar mereka untuk peduli. Salam literasi. #GeberBura #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLitrasi #kampungLiterasiSukaluyu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H