Press Release - 11 Oktober 2021
9 dari 10 Taman Bacaan di Indonesia Terkendala Biaya Operasional
Biaya operasional jadi isu penting di taman bacaan. Karena faktanya, 9 dari 10 taman bacaan mengalami masalah besar soal biaya operasional. Alias tidak punya kecukupan dana untuk menjalankan aktivitas giat membaca dari yang seharusnya.Â
Menakjubkan, 90% taman bacaan hanya mampu memenuhi di bawah 50% dari biaya operasional yang diperlukan. Agak miris, mengingat perjuangan taman bacaan sebagai ujung tombak tradisi baca dan budaya literasi masyarakat.
Itulah Simpulan survei Tata Kelola Taman Bacaan di Indonesia yang dilakukan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka (Juni 2019). Survei yang dilakukan TBM Lentera Pustaka ini diikuti oleh 54 pegiat literasi dari 34 daerah di Indonesia dan menyebutkan bahwa:
1. Â Â Â 70% taman bacaan di Indonesia hanya bisa memenuhi di bawah 25% dari kebutuhan operasionalnya.
2. Â Â 18% taman bacaan hanya mampu memenuhi biaya operasional antara 26%-50% dari yang diperlukan.
3. Â Â 8% taman bacaan mampu memenuhi biaya operasional antara 51%-75% dari yang dibutuhkan.
4. Â Â Hanya 4% taman bacaan yang mampu memenuhi 75%-100% dari kebutuhan biaya operasional yang diperlukan.
Atas realitas itu, tidak dapat dipungkiri banyak taman bacaan yang seakan "hidup segan mati tak mau" alias mati suri. Taman bacaan dibilang ada namun tiada. Karena masalah tidak ada biaya operasional yang memadai. Sekalipun bersifat sosial, harus diakui, taman bacaan tetap butuh biaya. Misalnya untuk bayar listrik dan membeli buku atau aktivitas sebagai reward kepada anak-anak yang membaca. Belum lagi soal relawan yang minim dan terkendala transport.
Bila ada taman bacaan di dekat kita hari ini, yang terpampang plang namun tidak ada aktivitas literasi. Bisa jadi disebabkan karena kendala biaya operasioanl atau tidak adanya buku bacaan yang memadai. Taman bacaan kian sulit untuk beroperasi normal. Apalagi di tengah terpaan era digital.
Lalu, bagaimana mungkin taman bacaan bisa jadi ujung tombak gerakan literasi?
Apalagi bila dikaitkan dengan kebijakan "Gerakan Literasi Nasional (GLN)" sebagai bagian dari implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti untuk mengembangkan literasi dasar masyarakat yang mencakup, yaitu literasi baca-tulis, numerasi, sains, finansial, digital, dan budaya & kewargaan. Tentu, eksistensi taman bacaan kian berat. Bak "jauh panggang dari api".
Tidak adanya ketersediaan dana operasional taman bacaan, tentu menjadi bukti prinsip gerakan literasi nasional yang terdiri dari: 1) berkesinambungan, 2) terintegrasi, dan 3) melibatkan semua pemangku kepentingan masih sebatas angan-angan. Gerakan literasi masyarakat yang digawangi taman bacaan masih jauh dari harapan. Akibat persoalan biaya operasional taman bacaan. Hingga bingung, ke mana dan harus bagaimana lagi mengelola taman bacaan.