Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Kata "Picek" dan Pentingnya Kesantunan Berbahasa

31 Agustus 2021   13:05 Diperbarui: 31 Agustus 2021   13:34 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka siapa pun yang aktif di media sosial atau tokoh publik harus hati-hati. Jangan sampai gara-gara tuturan atau Bahasa jadi masalah. Secara prinsip, saat menggunakan bahasa atau kata-kat itu harus memperhatikan dua hal: 1) bentuk bahasa dan 2) penggunaannya. Misalnya, kata "picek". 

Secara bentuk kata "picek" tidak ada di KBBI, maka kata itu tidak pantas digunakan karena tidak baku. Tapi bila penggunaan kata "picek" dijadikan sapaan atau umpatan kepada seseorang ya berarti salah, tidak pantas digunakan.

 Di sisi lain, setiap perilaku berbahasa dapat dilihat dari sisi "makna". 

Seperti kata "picek" maka harus dilihat konteksnya. Soal hubungan antara konteks luar bahasa dan maksud tuturan. Konteks luar bahasa, seperti dalam pergaulan, untuk keakraban, kesepakatan kelompok itu sangat mempengaruhi maksud tuturan. 

Dan maksud tuturan tentu tidak bisa dilihat hanya dari bentuk dan makna saja. Tapi patut dilihat pula dari tempat dan waktu berbicara, siapa yang terlibat, lawan bicaranya, tujuannya, cara penyampaiannya, dan sebagainya.

Agar tidak jadi polemik. Harus dipahami, tiap kasus berbahasa itu berbeda-beda. Tergantung aspek pragmatiknya sehingga bisa jadi positif atau negatif, bisa berterima atau tidak berterima. Bahasa itu bisa dipilih yang baik, bila mau. Tapi di sisi lain, bahasa juga seleratif - tergantung si orang yang memakai bahasa itu. Di situlah terlihat kualitas berbahasa seseorang.

 Maka, berbahasalah yang pantas dan berterima.

Kata-kata yang diadopsi dari Bahasa gaul, seperti "pecek", "anjay"  dan sebagainya yang tidak pantas dan tidak santun sebaiknya diabaikan. Bagi yang paham, cukup diimbau mereka untuk tidak menggunakan kata-kata yang tidak pantas itu. Beri tahu mereka untuk menggunakan kata-kata dan bahasa yang pantas. Bahasa yang santun. Agar tidka jadi polemik.

Lakoff, seorang linguis dari Universitas California menegaskan aspek penting dalam berbahasa. Agar tidak menimbulkan friksi. Tentang pentingnya kesantunan berbahasa yang harus dilihat dari 1) formalitas, 2) ketidaktegasan, dan 3) kesamaan. Maka bila formalitasnya rendah, ketegasannya rancu, dan kesamaan tidak terpenuhi di antara pemakai bahasa berarti tidak santun. Bahasa yang tidak santun cukup diberi tahu yag santun dan abaikan perdebatannya. 

Selain itu, Bahasa pun ada ragam lisan dan tulisan. Dan kedua ragam itu menempuh jalannya sendiri-sendiri. Tapi yang jelas, ragam lisan tingkat kebakuannya sangat rendah. Sementara ragam tulisan syarat kebakuannya tinggi. 

Maka ada kamus, ada kaidah ejaan, ada tata tulis, dan aturan lainnya. Maka saya menduga kata "picek" itu ragam lisan. Jadi, kebakuannya rendah. Jadi untuk apa diributkan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun