Seorang anak kecil bertanya kepada orang dewasa, siapakah orang baik?
Sungguh tidak mudah menjawabnya. Tentang orang baik itu seperti apa. Baik itu kata-kata atau pikiran tanpa perbuatan. Atau baik itu perbuatan tanpa kata-kata. Ada banyak tafsir, ada banyak argumen. Apalagi bila ditambah "bumbu" dalil-dalil.
Bisa jadi, di era digital dan media sosial. Orang baik itu sudah ber-transformasi. Tidak lagi seperti yang diajarkan orang tua dulu. Orang baik hari ini begitu intens berdiskusi keburukan orang lain di grup WA. Pandai mengeluh sambil ber-gibah lalu paling depan menyebut dirinya "sudah bersyukur". Orang baik yang ambigu. Apalagi di masa pandemi Covid-19 begini.
Â
Entah kenapa? Orang baik hari ini terlalu gampang menyebut dirinya benar. Di saat yang sama mudah menyalahkan orang lain. Baik sebatas pikiran, sebatas kata-kata yang dibungkus kecerdasan. Baik di dunia maya. Â Tapi tidak berbuat apa-apa di dunia nyata. Hidup baiknya, semua untuk diri sendiri.
Sejatinya, baik itu sederhana. Karena baik adalah perbuatan. Bukan kata-kata apalagi pikiran. Mau mengucapkan salam, bersedia memberi makan orang lain pun baik. Rajin ibadah secara ritual dan sosial pun baik. Tidak melanggar janjinya sendiri pun baik. Bahkan berani berjuang dan mengorbankan dirinya untuk kepentingan orang banyak pun baik. Seperti berjuang di taman bacaan pun sebuah kebaikan. Asal niatnya baik dan membantu orang lain.Â
Maka tidak ada kebaikan bila banyak mengeluh. Tidak ada kebaikan pula dari terlalu banyak ngomongin orang lain, apalagi gibah. Karena baik itu urusan moral bukan hanya logika. Baik itu saat berani sabar bukan benci. Baik itu mau bersyukur bukan mengeluh. Bahkan baik itu ada pada tindakan bukan diskusi.
Jadi, siapa orang baik itu?
Sederhananya, orang baik hanya tahu berbuat baik. Untuk dirinya dan orang lain. Orang baik tidak akan pernah mau menyusahkan orang lain akibat perbuatannya. Maka jadi orang baik itu harus diperjuangkan. Baik itu bagus dan penting. Tapi jangan sampai muncul perasaan lebih baik dari orang lain.Â
Orang baik itu ibarat pohon. Dia tidak pernah mau mempersoalkan masa lalu apalagi  memperbaiki "pangkalnya". Tapi dia segera ikhtiar lalu berubah hari ini untuk mengubah "ujungnya".Â