Era digital dan kehebatan teknologi, ternyata tidak identik dengan kemajuan orang-orangnya. Karena siapa sanka, di zaman yang serba canggih ini. Masih ada kaum buta aksara alias buta huruf. Mereka yang tidak bisa membaca dan menulis. Kok bisa terjadi?
Itulah yang dilakukan Gerakan BERantas BUta aksaRA (GEBERBURA) TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor. Sudah 2,5 tahun, program pemberantasan buta aksara di Desa Sukaluyu ini berjalan. Awalnya hanya diikuti 4 ibu-ibu warga belajar. Lalu, susut tersisa hanya 2 ibu. Tapi kini bertambah lagi ada 9 ibu-ibu. Seminggu dua kali (Kamis dan Minggu), mereka masih belajar rutin. Alhamdulillah, kemajuan belajarnya pun terus terlihat. Mulai dari menulis nama dan tanda tangan, lalu mengeja kata hingga membuat kalimat. Rajin membaca dan menulis hingga terbiasa. Agar mereka benar-benar terbeas dari belenggu buta aksara.
Â
Program GEBERBURA TBM Lentera Pustaka pun sudah diapresiasi oleh NET TV, CNN TV, dan DAAI TV yang sengaja meliput tentang program pemberantasan buta aksara di masa pandemi Covid-19. Mengapa masih ada buta aksara? Para ibu warga belajar buta aksara GEBERBURA TBM Lentera Pustaka ternyata tergolong kaum tidak beruntung. Setelah di data, mereka memiliki tingkat pendidikan 33% SD dan 67% SD tapi tidak lulus. Maka wajar, saat ini mereka tergolong kaum prasejahtera.Â
Â
Di era digital ini, sungguh memberantas buta aksara memang tidak mudah. Karena mereka kaum ibu yang harus mendapat izin dari suami, punya urusan mendidikan anak dan harus sudah selesai mengurus rumah. Maka memberantas buta aksara, butuh proses yang panjang. Di samping komitmen dan konsistensi bagi yang mengajarnya. Menjaga kemauan belajar, itulah yang menjadi isu besar berantas buta aksara.
Â
Di GEBERBURA, saya sendiri tidak pakai kurikulum keaksaraan nasional karena memang sulit diterapkan. Terlalu kaku dan step by step-nya tidak cocok. Maka saya bikin metode "be-nang" alias BElajar dengan seNANG. Belajar yang diawali doa, rileks dan selalu ada canda, an selalu ada PR untuk membiasakan tangannya menulis. Bahkan lebih dari itu, para warga belajar pun tidak jarang mendapat "hadiah" berupa seliter beras atau mie instan seusai belajar. Tujuannya, agar mereka tetap mau datang di setiap tatap muka belajar. Maklum, program GEBERBURA tidak ada rapor, tidak ada absen bahkan tidak ada kenaikan kelas.
Tangan para warga belajar di GEBERBURA bisa dibilang sudah kaku untuk menulis. Mulut dan lidahnya pun harus adaptasi saat mengeja suku kata. Belum gangguan mata yang membuatnya seperti tidak ada jarak antara mata dan buku tulis. Begitulah nyatanya di GErakan BERantas BUta aksaRA (GEBERBURA) TBM Lentera Pustaka.
Sementara di luar sana, sangat jago berkata-kata. Tapi di kaki Gunung Salak, masih ada warga yang tidak mampu membaca dan menulis. Maka di situlah ada keprihatian, sekaligus membutuhkan kepedulian semua pihak. Agar mereka benar-benar terbeas dari buta aksara.Â
Jadi, apa indahnya era digital dan teknologi canggih? Bila di dekat kita, masih ada orang-orang yang buta aksara. Mereka yang tidak bisa membaca, tidak bisa menulis. Jangan kasihan mereka. Tapi bantulah sebisa kita. Ubah setiap niat baik jadi aksi nyata. Salam literasi #GEBERBURA #TBMLenteraPustaka #BerantasButaAksara #TamanBacaan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H