Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Dua Saudara dari Dusun Bengo Maros yang Terpisah Sejak Kecil (In Memoriam Ambo Lotang Yunus)

15 Juni 2021   21:26 Diperbarui: 15 Juni 2021   21:55 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin kita hari ini masih begini. Tapi esok belum tentu. 

Karena setiap kelahiran pasti diikuti kematian. Dan setiap pertemuan pun pasti diakhiri perpisahan. Semua itu menegaskan. Bahwa setiap jiwa pasti akan merasakan yang namanya kematian. 

Namun kematian pun akan menyisakan cerita. Seperti kepergian Bapak Ambo Lotang Yunus pada Selasa, 8 Juni 2021 lalu. Sosok prajurit teladan itu menghembuskan nafas terakhir di usia 76 tahun. Bukan hanya mengundang duka bagi anak-anaknya, cucu-cucunya bahkan keluarga besarnya. Tapi kepergian A. Lotang Yunus sekaligus menjadi "penutup" generasi pertama keturunan Kakek Koto dari Bengo Desa Limapoccoe Kec. Cenrana Maros. Pasalnya, kakaknya bernama Daeng Yunus telah menghadap keharibaan-Nya pada 2019. Dia pun menyusulpada 2021. Dua bersaudara yang yatim sejak kecil pun, Daeng Yunus (sang kakak) dan Ambo Lotang Yunus (sang adik) kini telah tiada. Beralih ke generasi kedua Kakek Koto; 5 anak dari Daeng Yunus dan 4 anak dari Lotang Yunus.

In Memoriam ke-7, saya menuliskan tentang almarhum A. Lotang Yunus dan kakaknya Daeng Yunus, dua bersaudara yang sejak kecil terpisahkan. Daeng Yunus berada di Bengo Maros, sedangkan adiknya Lotang Yunus ikut pamannya mengadu nasib di Jakarta hingga akhirnya jadi tantara. Dan sejak di perantauannya, Lotang Yunus sebagai adik pun hanya sesekali bertemu. Semasa aktif dinas jadi tantara pun hanya beberapa kali. Dan sejak pensiun tahun 1992 pun, sekitar 3 kali saja. Dan terakhir kali, di tahun 2019, justru sang kakak daeng Yunus meninggal dunia. Sang adik, Lotang Yunus pun hanya bisa termangu untuk mengantar ke pemakaman.

Dua kakak beradik, Daeng Yunus dan Lotang Yunus berasal dari kampung kecil di Bengo Maros. Mereka bisa bermain bersama dalam waktu yang tidak lama. Karena sang adik pun merantau ke Jakarta.  Bahakn mereka pun tergolong masih kecil saat kedua orang tuanya, Koto dan Cugi, meninggal dunia. Anak yatim piatu sedari kecil. Entah, apa yang mereka obrolkan di masa kecil dulu. Tapi yang pasti, puluhan tahun akhirnya mereka terpisah. Sang kakak Daeng Yunus di Bengo Maros dan sang adik Lotang Yunus di Jakarta. 

Bengo, nama tempat lahir kedua kakak beradik ini. Hanya sebuah dusun di Desa Limapoccoe Kec. Cenrana Kab. Maros. Untuk bisa menjangkaunya, butuh waktu 2,5 dari kota Makassar. Menyusuri jalan Poros Maros, melalui Bantimurung lalu hutan lindung berbukit kapur hingga melewati Kec. Cenrana. Sebuah dusun yang berada di daerah pegunungan dan sebagian besar penduduknya bertani, berkebun, beternak dan berdagang. Kedua kakak adik ini pun menjunjung tinggi tradisi budaya Bugis Makassar, yang mengalir dalam darah dan karakter mereka.

Salah satu nilai budaya yang dianut Lotang Yunus dan Daeng Yunus, sebagai kakak beradik adalah budaya siri'. Sebuha tradisi yang memegang prinsip harga diri. Disamping tetap menjaga keseimbangan dalam hal apapun. Harga diri yang mampu mengendalikan diri dalam keseimbangan. Bila mau dihormati, maka harus menghormati orang lain. Bila mau dihargai, maka hargailah orang lain. Karena tradisi budaya Bugis Makassar sangat menjunjung tinggi kesimbangan. Seimbang dunia akhirat, seimbang lahir dan batin. Baik sebagai individu maupun bermasyarakat.

Dari Bapak Lotang Yunus dan juga kakaknya, saya setidaknya belajar dan memahami tradisi yang dipelihara masyarakat Bugis Makassar, yang dikenal dengan sifat "tiga sipa" yaitu sipakatau, sipakalebi, dan sipakainge. Sifat utama untuk menjaga keseimbangan pribadi. Sipakatau, yang selalu komitmen menghargai orang lain sebagai makhluk Allah SWT. Sipakalebbi, yang selalu memperlakukan orang lain dengan baik. Dan sipakainge, yang mau dan saling mengingatkan satu sama lainnya.

Maka kepergian Bapak Ambo Lotang Yunus, setidaknya mengingatkan kembali anak-cucunya. Untuk selalu berbuat baik kepada siapa pun, sesuai norma sosial, dan aturan yang seharusnya. Sambil tetap menjunjung tinggi tradisi Bugis Makassar. Karena hidup hanya sementara, maka siapa pun. Harus menghargai orang lain, selalu berbuat baik, dan berani saling mengingatkan. Tentu, dengan terus terang dan tanpa memandang pangkat, jabatan apalagi harta. 

Almarhum Lotang Yunus hanya bersaudara dengan Daeng Yunus. Dan keduanya, kini telah tiada. Dua bersaudara, bukan tiga atau empat. Tapi saudara adalah mereka yang mampu menemukan persamaan pada setiap diri. Namun tetap menghargai perbedaan yang ada. #InMemoriamLotangYunus #AmboLotangYunus #PensiunanTentara #SangPrajuritTeladan #SelamatJalanPakLotang

Sumber: Pribadi
Sumber: Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun