Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Sakitnya Taman Bacaan, Obati dengan TBM Edutainment

28 Maret 2021   08:33 Diperbarui: 28 Maret 2021   08:35 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang benar. Mengubah perilaku anak-anak yang terbiasa main menjadi dekat dengan buku tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi berkiprah di taman bacaan. Bukan hanya butuh tekad kuat. Tapi komitmen dan konsistensi sangat diperlukan. Sabar pun tidak cukup. Tanpa harus dibarengi sikap "tutup kuping" dan jiwa kreatif. Agar eksistensi taman bacaan dan tradisi baca benar-benar tercipta sesuai dengan tujuan. Bagi saya, taman bacaan bukan sekadar tempat membaca. Tapi ikhtiar membangung peradaban masyarakat.

Saat merenung sejenak. Kenapa banyak taman bacaan di Indonesia seperti kepayahan. Membangun tradisi baca seperti tergopoh-gopoh. Hingga terkesan "mati suri". Hidup mau, mati pun enggan. Kondisi itu terjadi akibat 3 sebab. Yaitu 1) buku ada anak tidak ada, 2) anak ada buku tidak ada, dan 3) komitmen pengelola taman bacaan yang setengah hati, tidak sepenuh hati.

Maka mau tidak mau, taman bacaan atau membangun tradisi baca di mana pun. Harus ada cara yang beda. Beda dalam tata kelola, beda dalam program. Beda artinya harus lebih kreatif. Agar taman bacaan dan membaca jadi kegiatan yang menyenangkan. Taman bacaan harus asyik, untuk yang mengelola maupun audiens-nya. 

Sekadar berbagi cerita saja. TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor. Tepatnya di Kampung Warung Loa Desa Sukaluyu. Daerah ini bolehlah disebut kawasan prasejahtera. Angka putus sekolah anak pun tinggi, 81% SD. Plus tingkat  ekonomi yang minus. Maka anak-anak pun sama sekali tidak punya akses bacaan.

Saat didirikan 4 tahun lalu, hanya 14 anak yang mau bergabung. Untuk membaca tiap Rabu-Jumat-Minggu. Koleksi buku bacaan pun hanya 600 buku. Namun seiring berjalannya waktu. Kini, TBM Lentera Pustaka sudah jadi "rumah" bagi 160 anak pembaca aktif. Anak-anak kampung yang mampu melahap "melahap" 5-10 buku per minggu. Dengan jumlah koleksi 6.000 buku bacaan yang 95%-nya adalah donasi orang-orang baik.

Lalu, apa yang dilakukan di taman bacaan?

Saya hanya berpikir "out of the box". Tidak mau ikut pakem taman bacaan yang ada. Tanpa referensi tanpa rujukan. Saya menggagas sendiri cara mengelola taman bacaan, yang disebut "TBM Edutainment". Sebuah tata Kelola taman bacaan yang memadukan edukasi dan entertainment. Bahkan kini, TBM Edutainment itu pula yang saya angkat sebagai disertasi di S3 Manajemen Pendidikan Unpak. Biar jadi "doktor taman bacaan".

Harus diakui, TBM Edutainment kini sudah jadi energi dan "darah segar" taman bacaan. Partisipasi masyarakat terus bertambah, program kian meluas seperti berantas buta aksara, yatim binaan, kelas prasekolah, koperasi, dan jompo binaan. Taman bacaan yang tadinya sepi bak "jalan sunyi" kini berubah jadi sentra kehidupan masyarakat. Titik kumpul untuk aktivitas yang positif dan bermanfaat.

Maka taman bacaan harus terus bergerak. Kreatif dalam bikin program. Dan tidak terjebak pada diskusi dan ruang seminar tanpa istiqomah berada di taman bacaan, sebagai "rumahnya". Karena masalah tradisi baca, budaya literasi atau taman bacaan tidak akan pernah selesai lewat diskusi atau seminar. Saya menyebutnya di taman bacaan, "ubah biat baik jadi aksi nyatra". Tanpa aksi nyata di lapangan, tidak jadi apa-apa, tidak berguna. 

Taman bacaan tidak akan hidup tanpa kolaborasi, tanpa sinergi. Maka idealisme taman bacaan harus "disesuaikan", bukan "dihilangkan". Gerakan literasi itu gerkan yang realistis bukan utopis. Tetap membumi dan membuka ruang tegaknya tradisi baca dan budaya literasi. Bersama siapa pun, oleh siapa pun.

Dan penting diketahui. Taman bacaan jangan fokus pada orang-orang jahat, kaum yang apatis. Tantangan dan cobaan pasti ada. Tapi itu semua akan terlewati. Bila taman bacaan tidak menggubris-nya. Biarkan saja, karena setelah gelap malam pasti akan muncul sinar mentari pagi.

Akhirnya, hanya waktu yang akan membuktikan proses di taman bacaan. Bila terang, maka audiens-nya semakin banyak. Bila gelap maka akan terus sepi. Waktu itu penting. Karenaakan tiba masa. Ganjil berubah genap, sabar berujung indah. Semua itu perlu waktu dan kita hanya diminta ikhtiar dan doa. Begitulah taman bacaan seharusnya. Salam literasi #KampanyeLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka

Sumber: TBM Lentera Pustaka
Sumber: TBM Lentera Pustaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun