Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Literasi Sarungan, Kenapa Mulut Tidak Ada Sarungnya?

23 Maret 2021   08:52 Diperbarui: 23 Maret 2021   09:06 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin, saat ini makin banyak orang jarang sarungan?

Itu hanya pertanyaan, bukan simpulan. Banyak orang sudah tidak suka pakai sarung. Jarang sarungan. Sehingga gagal menahan diri lagi. Terlalu emosional dan mudah tersinggung. Egois. Boro-boro berguna untuk orang lain. Untuk dirinya sendiri saja, masih belum beradab. Mungkin, karena sudah jarang sarungan?

Literasi sarung jadi penting. Karena memakai sarung atau sarungan berarti mau menahan diri. Sebab biasanya, apa yang ada di dalam sarung itu "sesuatu" yang berbahaya. Makanya keris, pistol ada sarungnya. Agar tidak bahaya buat orang lain. Sayang sekali, mulut tidak ada sarungnya? Seperti jari-jari tangan di medsos pun tidak ada sarungnya?

Sarung atau sarungan. Bukan soal gengsi atau prestise. Tapi soal nilai-nilai. Nilai untuk menahan ego. Mau menjaga diri dari nafsu dunia. Bahkan mampu menjaga orang lain agar tidak mendapat keburukan darinya. Makanya sarungan, agar tidak cedera atau mencederai. Sarungan itu ada adabnya, ada akhlaknya.

Sarung itu hanya simbol. Agar siapa pun lebih legowo dan mau menerima realitas. Saat pakai sarung, tidak ada orang besar atau orang kecil. Tidak ada pangkat atau jabatan. Semuanya setara bila sarungan. Karena sarung tidak pernah membeda-bedakan orang. Seperti mottonya, "sarung untuk semua".

Maka pakailah sarung. Agar mau menahan ego, berani membangun peradaban baik. Jangan asal omong, jangan asal celoteh. Apalagi menebar hoaks atau kebencian. Sungguh, tidak ada bangsa atau lingkungan yang maju. Bila modalnya hanya omongan. Apalagi benci dan tidak suka pada orang lain.

Kata pepatah "bagai menghasta kain sarung". Itu artinya, jauhi perbuatan yang sia-sia. Selalu ikhtiar di jalan kebaikan. Jangan sibuk tapi tidak menghasilkan apa-apa. Karena sudah bukan zamannya. Gawai saja makin pintar. Lalu, kenapa manusia sudi makin tidak pintar?

Kaum sarungan. Adalah simbol mereka yang tidak bertuhan kemewahan. Tapi selalu berteman pada kesederhanaan. Seperti pegiat literasi di taman bacaan. Mereka yang hanya fokus menebar kebaikan. Demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi. Sebuah pekerjaan kecil yang bermanfaat besar. Bukan pekerjaan besar tapi tidak ada manfaatnya. 

Kaum sarungan sadar betul. Bahwa sarung itu punya motif dan corak bermacam-macam. Seperti hidup pun, sealu ada perbedaan. Ada yang setuju ada yang tidak setuju. Ada yang suka ada yang tidak suka. Itu semua lazim. Jadi, tidak usah gubris perbedaan. Kan bila tidak sama, bukan berarti tidak boleh beda?

Tapi sarung, selalu mengajarkan satu akhlak. Sarung selalu melindungi apapun yang ada di dalamnya; selalu bersyukur atas apa yang sudah dimilikinya. Salam literasi #KampanyeLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun