Anak pertamanya, meninggal dunia akibat sakit 2 tahun lalu. Selang setahun kemudian. Anak keduanya pun dipanggil Illahi karena tertabrak di jalan saat sedang bermain. Sedih banget.
Hebatnya, tetangga saya tetap tegar dan mampu menutupi rasa dukanya. Seolah tidak terjadi apa-apa. Nrimo sekali. Lapang dada dan menerima kenyataan. Tanpa perlu menyalahkan yang menabrak, apalagi menyalahkan Tuhan.
Saat saya ucapkan ikut berduka cita, lalu ia menjawab, "Terima kasih Pak. Anak saya cuma titipan Allah. Kalau diambil sama yang nitip, ya tidak apa-apa. Saya nrimo".
Menerima atau nrimo itu bukan pasrah.Â
Tapi ada usaha dan ikhtiar keras lalu tetap berdoa. Selebihnya biarkan Allah yang menentukan hasilnya. Karena semua yang terjadi pasti atas kehendak-Nya. Nrimo atau menerima. Agar mampu bersahabat dengan realitas. Dan selalu berpihak paa perbuatan baik. Lalu, ubah niat baik jadi aksi nyata. Karena baik itu harus dieksekusi, bukan jadi bahan diskusi. Jadilah diri sendiri, tidak perlu jadi orang lain. Karena anugerah itu ada di diri sendiri, bukan di orang lain.
Agar kita tidak lupa. Bahwa dari sekian banyak pikiran dan rencana hebat manusia. Pada akhirnya, pilihan terbaik adalah sikap nrimo, menerima apapun yang ada. Sungguh, tidak ada kata yang lebih indah selain "menerima keadaan". Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #KampanyeLiterasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H