Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seruput Kopi Pagi, Vaksin Ditolak Apalagi Akal Sehat

22 Januari 2021   06:56 Diperbarui: 22 Januari 2021   07:06 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kopi. Ada yang suka ada yang tidak suka. Itu sudah biasa dan sah-sah saja. Seperti hidup pun. Ada yang suka dan ada yang tidak suka. Seperti vaksin Covid-19 pun ada yang menilak ada yang tidak menolak. Seperti taman bacaan pun, ada yang benci ada yang suka. Karena siapapun. Tidak akan pernah bisa "memaksa" orang lain untuk menyukainya.  

Pada secangkir kopi. Apalagi di pagi hari.

Selalu membuat penikmatnya selalu takjub. Selalu bersyukur dan bersenang hati. Terasa indah saat meneguknya. Karena rasa pada secangkir kopi. Pahit itu bersifat alamiah. Orisinal dan bukan dibuat-buat. Rasa yang tidak mungkin di manipulasi. Emas ya emas, sampah ya sampah. Tidak akan pernah tertukar sedikitpun.

Secangkir kopi. Selalu membuat kagum, bahkan terheran. Karena sensasinya yang luar biasa. Persis seperti, takjubnya manusia kepada Tuhannya. Kagum pada cara Tuhan memberi rezeki kepada umatnya. Tidak pernah tertukar bahkan tidak bisa dimanipulasi sedikitpun.

Pada secangkir kopi.  Ada hati nurani. Ada kebenaran yang hakiki. Bukan celotehan atau argumen yang dibuat-buat. Karena kopi, selalu mampu menyelaraskan pikiran, hati, dan sikap penikmatnya. Karena sesempurna apapun kopi yang kamu buat. Kopi tetap menghadirkan sisi pahit yang sulit disembunyikan.

Pada kopi. Ada takaran yang seimbang; antara manis dan pahit. Biar pas rasanya. Jangan terlalu manis. Jangan juga terlalu pahit. Kopi yang mampu membangkitkan energi dan inspirasi. Kopi yang penih esensi bukan sensasi. Seperti pepatah "hiduplah sesuai dengan kemampuan; jangan hidup atas kemauan apalagi kebencian".

Sungguh, menyeruput kopi pagi. Bak memendam rasa angkuh akibat gemerlap dunia.  Takjub pada kebesaran-Nya, bukan keangkuhan diri. Agar tetap tenang dan lembut dalam belantara kehidupan. Tanpa perlu meninggikan hati; tanpa perlu merendahkan orang lain. Karena di depan kopi, semua manusia sama saja. Ada kelebihan sekaligus ada kekurangan. Bahwa semanis apapun hidup, rasa pahit akan selalu ada. Maka akal sehat, harus tetap berpihak kepada kebenaran dan kebaikan. Apapun kondisinya, bagaimana pun keadaannya.

Pada secangkir kopi. Selalu ada pesan yang menghampiri.

Bahwa siapapun, tidak ada yang sempurna. Maka tidak perlu adu argumen dengan orang yang mempercayai kebenciannya sendiri. Lalu buta dari melihat kebaikan yang ada di dekatnya. Dan secangkir kopi, tidak pernah berhenti memberi inspirasi tentang hebatnya sebuah perjalanan ... salam literasi #GerakanLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun