Tidak sedikit taman bacaan di Indonesia seakan "jalan di tempat". Konsekuensinya, tata kelola taman bacaan pun dilakukan apa adanya atau setengah hati.Â
Lalu, bagaimana mungkin gerakan literasi sebagai gerakan sadar untuk "memahami dan memampukan" bisa berjalan dengan optimal? Karena literasi memang bukan sekadar baca-tulis.Â
Namun sebuah cara untuk menjadikan seseorang untuk paham dan mampu sehingga berdaya. Saya menyebut literasi sebagai "gerakan untuk bertahan hidup tiap orang pada masanya". Â
Apalagi di tengah wabah Covid-19 dan saat sekolah "merumahkan" siswanya untuk belajar;
ketika Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tidak efektif. Inilah momen taman bacaan di manapun untuk membuktikan peran penting dan tanggung jawab sosialnya kepada pemerintah dan masyarakat.Â
Taman bacaan sebagai sarana alternatif pendidikan nonformal yang tetap mampu mewadahi anak-anak usia sekolah untuk tetap belajar dan membaca di taman bacaan.Â
Taman bacaan sebagai "learning centre" masyarakat, di samping menjadi bagian social empowerment dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia di luar sekolah.
Maka mengelola taman bacaan sama sekali tridak bisa lagi sendirian. Mau tidak mau, tata kelola taman bacaan di era revolusi industri harus berkolaborasi. Bersinergi dengan banyak pihak untuk membangun kepedulian terhadap gerakan literasi bagi masyarakat Indonesia.Â
Beberapa kolaborasi yang bisa dilakukan antara lain: 1) pengadaan buku atau donatur buku, 2) relawan untuk menjadikan program taman bacaan lebih asyik dan menyenangkan, 3) sponsor CSR koroorasi untuk membiayai operasional taman bacaan, 4) bersama warga sekitar untuk mewujudkan program berkelanjutan, dan 5) aparatur pemerintah setempat untuk memperkuat kelembagaan dan peran taman bacaan. Tentu masih banyak lagi kolaborasi yang bisa dikreasi dari dan untuk taman bacaan. Agar taman bacaan tidak "mati suri" keberadaannya.
Apalagi taman bacaan adalah "pekerjaan hati" bukan pekerjaan eksistensi atau sensasi. Karena kegaduhan seperti apapun di luar sana, taman bacaan harus tetap berjalan dalam mengemban gerakan literasi. Oleh karena itu, taman bacaan harus dikelola secara profesional, sepenuh hati, dan yang papling penting kolaborasi. Melibatkan banyak pihak secara bersama-sama memajukan taman bacaan sebagai social empowerment.
Sebagai lembaga pendidikan nonformal yang berbasis sosial, harus diyakini, taman bacaan hanya bisa tegak bila didukung oleh banyak pihak; aparatur, masyarakat dan orang tua, korporasi, relawan, bahkan sekolah-sekolah yang ada di sekitar taman bacaan. Maka, kepedulian sosial terhadap taman bacaan bukanlah sekadar niat baik. Tapi harus diwujudkan dalam aksi nyata.
"Intinya taman bacaan harus dikelola dengan kolaborasi. Kemitraan sangat penting demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi masyarakat. Karena ke depan, pendidikan tidak lagi bisa bertumpu pada sekolah semata. Pendidikan dan belajar bisa dilakukan siapa saja. Agar tercipta ekosistem pendidikan yang sesungguhnya, yang melibatkan anak, orang tua, masyarakat, sekolah, pemerintah bahkan individu dan korporasi yang peduli terhadap gerakanliterasi" ujar Syarifudin Yunus, Pendiri dan Kepala Program TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor.
Komitmen untuk bermitra dan kolaborasi inilah yang dilakukan TBM Lentera Pustaka di Desa Sukaluyu Kec. Tamansari Bogor di Kaki Gunung Slaak. Agar taman bacaan dapat dikelola secara profesional dan berkelanjutan dari sisi peran dan manfaat kepada masyarakat.
Setelah 3 tahun berdiri, setiap tahunnya TBM Lentera Pustaka selalu melibatkan korporasi untuk ikut peduli dan mengisi kegiatan taman bacaan, khususnya untuk literasi finansial dan literasi teknologi.Â
Di tahun 2020 ini, TBM Lentera Pustaka disponsori oleh 1) Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, 2) Bank Sinarmas, dan 3) Asosiasi DPLK. Bahkan tidak sedikit aktivitas CSR korporasi/komunitas yang dilakukan di TBM Lentera Pustaka seperti: LOMA Socisety, Fashion Runners, SMC Group, N-Max Tangsel Community, dan individu lainnya. Tidak kurang 20 kegiatan CSR setiap tahun digelar di TBM Lentera Pustaka.
Alhasil, TBM Lentera Pustaka kini telah mengubah anak-anak kampung yang tadinya polos, pemalu dan cenderung sulit berinteraksi dengan orang "dari luar". Kini berubah menjadi anak-anak yang terbiasa membaca rutin 3 kali seminggu dan mampu "menghabiskan" 5-8 buku per minggu per anak.Â
Bahkan dengan menerapkan "TBM Edutainment", sebuah model pengembangan taman bacaan masyarakat yang berbasis edukasi dan hiburan. Kini TBM Lentera Pustaka menjadikan kegiatan di taman bacaan harus asyik dan menyenangkan.Â
Beragam aktivitas diterapkan di taman bacaan seperti: 1) salam literasi, 2) doa literasi, 3) senam literasi, 4) membaca secara bersuara, 5) laboratorium baca tiap hari Minggu, 6) event bulanan dengan "tamu dari luar" untuk motivasi, dan 7) tersedia "jajajan kampung" gratis setiap bulan. Dan tersedia fasilitas WiFi gratis tiap Sabtu dan Minggu, pelajaran komputer, dan kebun baca Lentera Pustaka sebagai sarana untuk membaca di ruang terbuka dan bercocok tanam.
Semua pihak sepakat, aktivitas taman bacaan dan gerakan literasi tidak aka pernah usai. Demi tegaknya tradisi baca dan terbentuknya masyarakat yang literat; masyarakat yang paham dan mampu untuk bertahan hidup. Maka taman bacaan harus dikelola secara bersama-sama, harus kolaborasi.Â
Karena taman bacaan adalah sebuah legacy, sebuah warisan untuk umat. Maka tata kelola taman pun harus asyik dan menyenangkan. Salam literasi... #TBLenteraPustaka #BacaBukanMaen #TamanBacaan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H